Total Tayangan Halaman

Senin, 28 Februari 2011

SEUNTAI DAMAI UNTUK BANGSA

*Ku persembahkan, untuk kau Saudaraku...*

Suasana mencekam, sangat mencekam, ketika  Gunung Merapi melepaskan isi perutnya ke tanah negeri ini. Awan panas terus menyelubungi Jawa Tengah, tak bisa dielak lagi, abu tebal menyelimuti. Lahar panas, lava dingin tidak lagi mau kasihan melihat kami. Tidak pandang bulu, yang kaya, miskin, tua, muda, bayi, semua jadi sasaran panasnya isi perut Merapi. Si Mbah, para bocah, menangis, menahan setiap kesakitan, Bapak-bapak, ibu-ibu putus asa, tidak, hampir putus asa, hampir menyerah melihat keadaan yang begitu payah ini.
Dimana para cendikiawan yang berjanji ada buat kami…? Masih ingatkah mereka dengan janji-janjinya itu? Atau mereka hanya bercanda ketika bilang semua itu?? Mengapa mereka hanya diam, mereka malah pergi ke tanah Olympus, masih ingatkah mereka…? Tak tahukah mereka, si mbah sudah menahan sakit, tak denharkaah mereka tangisan dan jeritan bayi kecil yang ketakutan..? Bagaimana nasib rumah kami selanjutnya?? Bisakah kami tetap tinggal di sini, tersenyum di sini, menorehkan cita-cita kami, merangkai mimpi kami?. Kesusahan demi kesusahan kami alami di sini,, kami sedih, kami tidak bisa melakukan apa-apa, kami susah.
Pak Presiden, tolong kami…!!! Tolong kami, kami sudah tak tahan lagi. Lihat betapa ganaasnya gunung ini. Betapa ganasnya sahaatt kami ini. Lihatlah air mata kami, lihat luka kami. Kami seolah-olah kehilangan segalanya. Susahnya menyungging senyum di bibir ini, air mata kami akan habis, untuk hal ini. Anak-anak kami terpaksa cuti dulu dari sekolah. Mata kami sembab, kami bertiga puluh enam ribu, kami seakan –akan dikejar kematian. Benda-benda kami habis, habis terbakar, luka-luka, kami rasakan,  bertubi-tubi, keluarga kami hilang, meninggal, terpisah, kami bingung, kamio sedih, kami susah.
Pak Presiden, Anda sudah datangkah?? Kami menunggu Anda, tapi sebentar, apakah ketika Anda datang, Merapi berhenti meletus..? Ya ampun, suara minta tolong semakin berdengung di telinga ini, mayat yang terbakar semakin banyak dan bertambah setiap harinya. Tangisan ibu, “tolong anak saya, Mas, selamatkan dia dululah..”. “ Mbah, bangun, Mbah, ayo Mbah kita pergi dari sini”, “Mbok, Mbok di mana..?”. Semuanya kebingungan, semuanya kocar-kacir.
Kami butuh peralatan medis, kami butuh susu untuk bayi kami, kami butuh kehidupan yang jauh dari ancaman. Sekarang kami tertekan, kami dipindah ke sana, di pindah ke sini, kami hidup dalam bahaya,  kami hidup dalam duka. Merapi tetap mengancam hidup kami. Bantuan datang, makanan datang. Ya, kami sudah kelaparan, kami hampir mati, mati ketakutan, mati kesepian, kami tidak tahu keluarga kami di mana. Dimana nenek kami yang sudah renta itu, masi hidupkah dia…?
Pak Presiden..? Pak, Bapak masih ingat kami..? Bapak masih kenal dengan kami ‘kan..? Masih pedulikan…?. Oh, ya ampun… Kami lupa, kami hampir lupa, kami punya Tuhan. Tuhan, yang pasti membuat semuanya jadi mungkin, tolonglah kami Tuhan. Tolong kami secepatnya, kami sangat membutuhkan Engkau, maaf agak memaksa, tapi ini terdesak, tak tahu lagi, kemana kami harus berlari, sebab kami sangat ketakutan, tak tahu lagi kami harus kemana bercerita kesusahan ini, sebab seemuanya seolah tutup telinga tak mau dengar kami. Kami ingat, kami punya Tuhan, yang selalu ada, bahkan saat semua orang melupakan dan meninggalkan kami.
Tuhan… Tuhan.. Engkau tak tidur kan..? Pasti Engkau sudah mempersiapkan pertolongan-Mu yang ada di luar jangkauan pikiran kami, kami yakini itu. Dulu, Engkau pernah membelah laut, kan?? Jadi kami yakin, Tuhan pasti akan membuat segalanya jadi indah, ya pada waktunya, sekarang memang berasa pahit, tapi kami melihat betapa manisnya persaudaraan kami, betapa manisnya kebaikan-Mu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar