Total Tayangan Halaman

Jumat, 08 Juli 2011

Sepenggal Kisah Sedih dari Cikandang

Kadang aku berpikir aku adalah orang paling susah dan melarat sejagat raya ini. Namun, apa yang aku saksikan hari ini mengubah segalanya. Ini semua karena si Agus, bocah pencari kayu bakar yang bercita- cita menjadi dokter. Dilihat sekilas, tidak ada yang menduga anak yang berusia sepuluh tahunan ini, sudah harus mengalami dan merasakan “kepahitan” seperti ini. Tak ada yang sangka, kalau bocah belia ini sudah harus bekerja keras untuk membantu menafkahi keluarga, menafkahi sang ayah.
Agus, putra dari Mak Isah dan seorang lelaki tua yang tergolek di atas tempat tidur karena stroke yang dideritanya. Mak Isah, ibunda Agus, seorang wanita tua yang sedemikan tegar untuk menjadi tulang punggung keluarga. Mak Isah mengerjakan apa saja untuk menghidupi keluarga kecilnya. Wanita kurus ini membersihkan kandang sapi. Bisa kita bayangkan betapa menjijikkannya apa yang dia lakukan itu, kotoran- kotoran sapi yang pasti ada di setiap pelosok kandang harus ia bersihkan dengan satu harapan, keluarganya tidaak kelaparan. Setiap hari dia melakukan pekerjaan ini dan berapa bayarannya??? Rp. 2000 per hari. Namun, Agus, si anak baik, menemani ibunya dan dengan segala cinta ia membantu ibunya membersihkan kandang sapi itu. Seperti biasa, jika pekerjaannya sudah selesai, mereka pulang, dengan wajah penuh sukacita dengan senyum riang yang tersungging di bibir mereka. Melihat senyum mereka hatiku perih sekali, bak diiris- iris silet lalu disiram air perasan jeruk nipis.
Tiba- tiba aku menyaksikan mereka masuk ke suatu tempat, yang  bahkan kandang ayam tetanggaku jauh lebih bagus, lebih baik dari tempat yang mereka sebut rumah itu. Sekarang hatiku yang diiris- iris itu sedang disiram air garam. Di tempat itulah, di salah satu ruangan yang tidak tega rasanya aku sebut kamar, ayah Agus tergolek. Ayahnya begitu renta, sakit stroke yang dideritanya memaksanya menjadi lemah, memaksanya pasrah. Satu hal yang menyakitkan, dari awal beliau sakit sampai saat ini, belum sekalipun ia mendapat penanganan medis, hanya perawatan seadanya dari Mak Isah dan Agus. Agus hanya bisa membantu seadanya. Ia selalu membantu ayahnya mandi, makan, memijat- mijat dan menghibur ayahnya. Agus pernah berkata dengan rasa penuh cinta terhadap ayahnya “Agus teh pengennya jadi dokter, Agus mau buat Abah sembuh, biar Abah nggak susah kayak gini”. Harapan itu begiitu tulus, begitu suci. Harapan mulia itu mungkin hanya jadi angan kosong, mungkin Agus bermimpi dengan segala ketidaktahuannya atas mahalnya biaya untuk menjadi seorang dokter. Sekarang pun, Agus tidak bersekolah lagi.
Pagi begitu dingin, dingin menusuk- nusuk. Tapi setiap pagi, inilah yang dilakukan Agus setiap hari. Ia menuju kebun teh, dan mulai mencari harta karun bagi dirinya, KAYU BAKAR. Kayu bakar ini ia cari, bukanlah sebagai piranti ibunya melainkan untuk dijual lagi. Untuk membuat dirinya hangat, Agus hanya menggunakan jaket semata wayangnya. Agus memajat pohon Salamander, untuk mendapatkan kayu bakar yang akan dijualnya. Setelah merasa cukup, ia mulai memperkirakan seberapa banyak per ikatannya. Ia berkeliling menawarkan kayu bakarnya, terjual jugalah satu tumpukan kayu bakarnya itu dua ribu rupiah. Dalam perjalanan menuju rumah dia mampir ke sebuah warung lalu membeli telur untuk makan ayah ibunya, hanya dua butir yang didapatnya. Dengan senang hati Agus melanjutkan perjalanan, tiba- tiba ia tersandung lalu jatuh dan…… jatuhlah telur itu dan pecahlah telur itu. Betapa sedihnya hati Agus, tapi ibunya segera menghiburnya “ Nggak apa- apa, Jang”. Lalu kayu bakar yang tidak laku ditumpuk dan nantinya akan dijual lagi.
Setiap sore, untuk menyambung kehidupan keluarganya, Mak Isah membuat gorengan untuk dijual. Bersama Agus, ia menawarkannya dari rumah ke rumah. Ibunya berharap Agus bisa sekolah lagi.
“Tenang, Gus!! Sesusah apapun kamu, kamu tidak sendirian, Tuhan melihat apa yang kamu jalani sekarang. Teruslah berusaha Tuhan akan menjawab doa- doamu, mewujudkan harapanmu”.

Senin, 04 Juli 2011

Kisah Si Lelaki Tua Penjual Susu Kedelai

Kemarin, 3 Juli 2011, hari itu hari Minggu, hari Minggu yang membuatku penat akan segala aktifitas yang telah terjadi. Mulai dari suara anak- anak yang terlalu ribut dan sangat  mengganggu di gedung Sekolah Minggu. Aku muak dengan anak- anak nakal yang susah sekali diatur. Aku tegang, mungkin tensi darahku naik. Setelah Sekkolah Minggu usai aku berusaha mengembalikan moodku agar jaadi lebih baik, tapi apa hasilnya, aku harus berlama- lama di gereja untuk menunggu orang bersama ibuku. Lama sekali. Perut lapar, emosi kacau balau untung saja ada bolu kukus yang disediakan untuk para pelayan pagi itu, jadi aku makan saja.
Setelah orang yang ditunggu- tunggu datang, ibuku dan aku ke tempat yang jadi target selanjutnya, sebenarnya target ibu, tapi karena dia mengiming- imingiku dengan mi celor , salah satu makanan khas Palembang, aku bersedia menemaninya. Aku menunggu di luar, lumayan lama, aku enggan masuk ke dalam karena terlalu padat. Aku melihat- lihat betapa banyaknya pengemis yang sudah hampir sama banyaknya dengan orang- orang yang belanja. Ibuku keluar dari toko itu. Lalu kami menuju tempat penjual mi celor yang letaknya tidak jauh dari toko itu. Kami hanya tinggal berjalan saja ke sana.
Di sana, tidak jauh dari gerobak si penjual mi celor, ada orang gila. Saat aku duduk dan memesan, si orang gila tertawa dengan keras (bahkan orang gila menertawaiku L) . Aku ketakutan, tapi aku mencoba rileks, lalu tiba- tiba dia, si orang gila itu, bertasbih, ngebut sekali. Aku shock.
Ga papakata si penjual mi. “Dia ga ganggu” dia menarik nafas. “Dulunya dia ini adalah ulama, tidak lama setelah adiknya menjadi Mujahiddin, dia gila, katanya dia “dibuat” orang. Dia dari golongan Islam apa itu namanya… Aduh, aku lupa apa namanya, tidak ada kok di  Alquran-ku”
“Islam radikal..?” aku bertanya

Aku hanya sekedar mengangguk dan melanjutkan makanan ini, karena makanan ini salah satu makanan kesukaanku juga. Saat aku sedang menikmati makanan ini, saat aku sedang menghirup kuahnya yang begitu nikmat. “SLURP”, tiba- tiba “KRING- KRING”. Sepeda tua itu dengan dua tumpuk keranjang berisi susu kedelai yang bertuliskan SUSU KEDELE DINGIN HANGAT 100% GULA ASLI. Karena penasaran dengan dengan rasanya “GULA ASLI” aku beli, harganya tidak mahal seribu rupiah. Saat aku coba, yep, ini benar- benar gula asli.
“Nah, itu dia. Aliran keras, mungkin dia pernah jahat sama orang lain, jadi digituin” kata si Mamang.
Kemudian ibuku, bertanya pertama- tama soal susu kedelainya. Tapi karena logatnya yang begitu khas, ibuku bertanya asal orang ini. Dia akhirnya bercerita, bahwa dia adalah orang Manado, dia di kota ini sudah lumayan lama, ia seorang Kristiani dan istrinya Muslim. Dulu dia rajin ke gereja, tapi karena keadaan ekonomi terpaksa ia, menunda untuk datang ke gereja. Lalu ibuku menasihatinya, si Bapak berkat dengan logatnya yang khas “Saya maunya gitu, tapi susah sekali, Bu…”
Dia bercerita bahwa dulunya dia seorang pelaut, aku agak aneh dengan kaca matanya, lalu tidak lama kemudian dia bilang bahwa matanya tidak berfungsi sebelah itu gara- gara katarak dan sebelahnya sudah dioperasi melalui program seperti Peduli Kasih. Dia bilang pada ibuku, dia akan menyempatkan dirinya datang ke gereja. Si penjual mie celor pun ikut menasihati.
“Persiapan untuk akhirat, Pak. Ga ada yang tahu waktunya”
Begitulah, aku sedih ingin menangis, melihat orang setua itu dengan beberapa kekurangannya, ia tetap berusaha untuk mencari uang secara mandiri dan halal, dia tidak mengemis atau pun melakukan perbuatan yang tercela. Dari sini aku juga belajar bahwa alangkah baiknya kita memilih pasangan yang seiman dengan kita, jika beda kita sendiri yang akan kesulitan. Dan yang terpenting, tempatkan DIA di atas segalanya maka hidup kita BERAT akan berubah menjadi BERKAT.