Total Tayangan Halaman

Selasa, 11 Desember 2012

Aku Percaya


Keluarga kecil itu terdiri dari tiga orang. Ayah, Ibu, dan satu orang anak laki- laki yang begitu baik rupanya, sehat, tanpa kekurangan apapun, Christo. Aku mengenal keluarga ini, bahkan dari sebulum si Ayah berkeluarga. Ia pria yang baik, aku panggil dia Om Hari. Dia orang yang selalu ceria dan selalu melibatkan diri dalam pelayanan di gereja. Suka bercanda. Setia dengan Tuhan, apapun yang terjadi. Ia tetap setia, meskipun ada badai yang mengguncang dalam hidupnya, kecelakaan tragis yang membuat kesehatannya agak teganggu, bahkan penampilan fisiknya yang pada awalnya begitu tegap, gagah, agak berubah. Ia juga diuji dalam pencarian belahan jiwanya, tapi tidak pernah sedikitpun Ia meragukan Tuhan. Dan, ya, Tuhan memberikan yang terbaik buat hidupnya, seorang istri cantik, berambut hitam lebat, kulit putih, tinggi, dengan pekerjaan yang bagus, dan yang paling penting, seiman, Tante Erina, begitulah aku panggil dia.
Mereka baik dan selalu mau jika dimintai pertolongan. Om Hari seorang polisi, dia selalu membantu siapapun yang butuh pertolongannya. Suatu ketika mereka pindah rumah, dari Asrama Polisi, mereka pindah ke sebuah komplek yang rumahnya lumayan bagus- bagus, tapi jalan ke arah rumahnya, begitu rumit dan susah diingat, jika aku disuruh ke rumahnya sendirian, aku akan tersesat sendirian lalu menangis, jika aku pergi ke sana berdua, aku akan tersesat berdua, tapi setidaknya ada teman tersesat, bikin nyasar jadi lebih asyik atau malah lebih tragis, tergantung teman nyasar pilihanku. Well, kembali ke cerita awal, ada kisah lucu tentang Om Hari dan rumah barunya ini. Selama satu minggu berturut- turut setiap pulang kerja, Tante Erina selalu menunggu Om Hari di depan gerbang masuk kompleknya, karena Om Hari belum bisa mengingat jalan menuju rumah barunya.
Tuhan selalu berkati keluarga ini dan satu berkat luar biasa Tuhan hadirkan lagi dalam keluarga ini, mereka dikaruniai seorang anak lagi, laki- laki. Christo sangat bahagia, punya seorang adik laki- laki, yang berarti jadi teman mainnya. Mereka namai anak laki- laki putih dan sehat itu Daniel. Anak ini gagah, seperti Christo, menggemaskan.
Tahun demi tahun bergulir, tapi Daniel kecil belum juga bisa berbicara, jangankan berbicara, panggil mama pun belum bisa. Ibunya yang berkecimpung dalam dunia kesehatan, sudah coba ikut terapi ini dan itu, tapi hasilnya nol. Tapi, itu tidak membuat mereka cepat putus asa. Mereka tetap memfasilitasi anaknya ini engan berbagai terapi dan tidak lupa selalu dibawa dalam doa. Mereka terus berdoa, seorang pendeta yang dengan sabar terus melayani dan mendoakan Daniel juga dengan telaten berdoa buat Daniel. Ketika hampir memasuki usia lima tahun, Daniel pun berbicara, hanya beberapa kata, dan saat mendengarnya aku terperangah yang keluar dari mulutnya adalah kata- kata “Aku percaya”. Sungguh luar biasa, mungkin ia tidak tahu apa yang ia katakan, tapi satu hal yang aku yakini, kata- kata itu merupakan doa dari bocah lima tahun yang belum bisa berbicara, namun ia percaya sepenuhnya kepada SIAPA ia berpegang.

Jumat, 12 Oktober 2012

Senyum Si Pemilik Bahu

Si pemilik bahu itu, dengan wajah sederhana, menoleh ke arahku dan tersenyum. Menghentikan langkah dan menungguku dalam diam. Lalu kami berjalan berdua, bersalaman dengan Pendeta yang memberi khotbah hari itu. Kami saling menatap sebentar, lalu hanya tesenyum. Tidak tahu mengapa, aku bahagia sekali jadinya. Kemudian, sorenya, ia menyapaku dengan lembut (agak menggoda), wajahku memerah (kata temanku) dan hanya bisa tersenyum.

Tahukah kau, pemilik bahu? Kamu itu inspirasiku. Kamu mungkin tidak tahu, tapi satu senyum hari ini memberikan semangat penuh untuk satu minggu ke depan. Ya, pada hakikatnya, kau sudah membuatku memakai cinta di jalan yang benar.

Selasa, 18 September 2012

Antara Aku, Bahu, dan Si Pemilik Bahu


-Bagiku, bahagia itu sederhana. Tak disangka, cinta bagikupun, begitu sederhana-
Pagi itu cuaca sangat panas, bayangkan masih pagi aja udah panas, tapi hari itu sangat cerah, cerah- secerahnya. Namun, hari itu berjalan seperti biasa tanpa ada yang spesial, tidak ada yang luar biasa, kecuali dua orang baru di tempatku bekerja, mereka pun bukan orang kantorku, hanya melakukan kunjungan saja, aku tidak mengerti. Mereka berseragam, tampak begitu tegap. Salah satu mereka yang menggunakan seragam warna hijau, terlihat sangat tampan dari belakang. Aku agaknya penasaran, tapi setelah menoleh ke arahku, baiklah itu hanya pria dengan wajah yang biasa- biasa saja.
Beberapa hari berlalu, saat aku bertugas di depan sekali, mendampingi bosku yang memimpin rapat, dua pria itu ada. Salah satu dari mereka, yang memakai baju kemeja hitam, dengan rambut disisir sangat rapi, menatap ke arahku lalu tersenyum kepadaku. Aku tidak membalas senyuman itu, aku sedikit bingung, dia senyum atau menertawaiku. Namun, ternyata itu senyum. Entah senyum dalam rangka apa, akupun tidak tahu.
Setelah hari itu, aku sering teringat dengan senyum pria asing itu. Saat itu, entah hari apa, aku berjalan kaki ingin membeli sesuatu, dengan baju kuning yang luntur, celana pendek putih, dan sandal pink, shocking pink, coba bayangkan betapa noraknya aku. Aku bertemu dengan dia yang sedang di atas motor, membeli sop buah, ia menatapku, lalu tersenyum lagi, mungkin hampir tertawa karena noraknya aku hari itu. Beberapa hari setelahnya, aku keluar membeli es cendol, aku tidak tahu bahwa orang yang ada di depanku itu dia, ternyata aku lewat di depan kos- kosannya, saat itu sekitar pukul lima, ia terdiam menatapku, begitu pula dengan aku, aku melihatnya dengan t-shirt hijau, celana pendek, dan diikuti dengan bulu kaki yang spektakuler. Dia tersenyum, aku membalas senyuman itu dengan senyuman yang agak kaget. Aku cukup kaget dengan bulu kaki yang luar biasa itu, ya tapi wajarlah karena dia seorang laki- laki, tapi teman- teman laki- lakiku belum ada yang memiliki bulu kaki seperti itu.
Beberapa waktu berselang aku cukup lama tidak bertemu denggannya, mungkin karena pekerjaanku yang banyak dan tugas kuliahku yang menumpuk. Aku tidak merasakan apapun aku tidak merasakan apapun dengan tidak bertemunya aku dengan dia. Everything’s okay so far. Hingga tiba saatnya, aku pun melihat, okay, hari itu dia datang ke tempat aku bekerja dengan kemeja kotak- kotak, aku dengan kemeja hitam garis- garis putih. Dia duduk di belakangku saat itu, lalu saat semua selesai kami hanya saling menatap. Matanya bagus sekali, lalu aku melihat dia saat dia berjalan pulang, aku melihat bahunya, lalu punggungnya. Hatiku bergetar saat itu. Ada sesuatu yang hangat menyelusup ke dalam hatiku, karena sudah lumayan lama aku tidak merasakan perasaan itu, sejak Gaston kembali ke Argentina, bukan, sejak satu atau dua tahun yang lalu. Setiap aku teringat dengan bahu- punggung itu, aku deg- degan, aku jatuh cinta dengannya, dengan bahu itu, dengan punggung itu. Aku jatuh cinta dengan si pemilik bahu, dengan si pemilik senyum dan mata indah itu. Aku jatuh cinta dengan dia.

Jumat, 23 September 2011

My New Christmas


Natal. Bagiku, adalah suatu momen yang aku tunggu di setiap tahun dalam hidupku. Aku selalu merindukan Natal itu, aku selalu merindukan suasananya yang begitu hangat, suasana yang damai, ramai, dan menyenangkan. Di negaraku, yang merayakan Natal memang tidak terlalu banyak, apalagi di kampungku, tapi aku melihat ketika para tetangga yang beda agama berdatangan ke rumah, menyisihkan waktu mereka untuk mengucapkan “Selamat Natal”. Aku selalu menantikan  ketika adik-adkku, ayahku, dan aku mendandani pohon Natal, sedangkan ibu menyiapkan makanan. Kami membuat kue 8 jam (kue Palembang), biskuit, rendang (makanan khas Padang), untuk disantap bersama keluarga, kerabat, dan para tetangga.
Suasana Natal yang begitu hangat dan terbilang sederhana di daerahku ini, membuatku terkadang begitu menginginkan Natal yang berbeda, seperti Natal di Amerika ataupun di negara- negara Eropa. Salju putih, Sinterklas dengan tawanya yang begitu khas, nyanyian- nyanyian Natal di sepanjang jalan, mengucapkan “Merry Christmas” pada setiap orang yang lewat, sepertinya begitu indah dan merupakan sesuatu yang aku impi- impikan. Aku bertekad untuk bisa ke sana dan merayakan Natal di sana dan menikmati salju yang begitu lembut itu. Selama kuliah aku menanamkan hal tersebut dalam hatiku aku percaya jika aku bermimpi dan menyerahkannya kepada Tuhan, serta berusaha, maka Tuhan tidak akan diam saja, Dia kan bertindak dan menolongku.
Setamat kuliah aku melamar di organisasi dunia yang ada di bawah naungan PBB, UNICEF, ini merupakan mimpiku, ketika aku bisa berbagi dengan sesama, terutama anak- anak dengan pendapatan yang bagus (tidak munafik aku membutuhkan uang juga). Meskipun aku harus berpisah dengan ayah, ibu, dan adik- adikku, tapi setidaknya mereka tidak kekurangan secara financial. Dua tahun aku bekerja di sini, aku bertemu dengan pria yang mungkin ditakdirkan menjadi pasanganku pada akhirnya. Billy Praditya, seorang dokter yang bertugas di daerah tempat aku bekerja. Kami merasa cocok dan akhirnya bertunangan. Dua tahun aku bekerja di  UNICEF, akhirnya aku ditugaskan ke negara kecil di Afrika, yang dari aku masih sekolah, sudah terkenal sebagai negara miskin. Dengan berat hati, aku terima tugas itu karena itu memang tanggung jawabku, ketika aku diterima di UNICEF, aku katakan dalam hati bahwa aku akan bekerja sebaik- baiknya untuk melayani mereka terutama anak- anak.
Aku berangkat dari kota kelahiranku sekalian mohon doa restu dari orang tua dan adik- adikku. Ibuku menangis, adik- adikku juga. Ayahku menepak- nepak pundakku “Baik- baik di sana”, itulah katanya. Di bandara,keluargaku dan Billy yang ikut serta mengantarkanku. Ku lihat ada kesedihan di pelupuk mata Ayah dan Billy meskipun mereka tidak menangis. “Jangan lupa hubungi aku, Le..” katanya dengan suara tersekat, “Sering- sering cek YM-mu”. Aku mengangguk tidak sanggup bicara, aku hanya tersenyum, lalu melambaikan tanganku.
Mungkin sekitar lima belas jam, akupun tiba di negara tujuan, Ethiopia, setelah transit di  Bandara Jan Smuts yang megah di Afrika Selatan. Negara ini gersang, jika Indonesia panas, negara ini juga panas dengan “taste” yang berbeda. Aku bersama rombongan tiba di bandara yang entah namanya apa, saat ku cari tahu aku tetap tidak menemukannya. Mungkin nanti akan ku tanyakan pada temanku. Dari bandara itu, kami harus naik pesawat kecil lagi ke daerah tujuan kami atau maik mobil selama dua hari, karena ingin cepat sampai atasanku memilih pesawat kecil. Atasanku ini adalah warga negara Australia, badannya besar, tapi suaranya begitu lembut. Deborah McAllen, suaminya bekerja untuk PBB juga di organisasi yang berbeda saja. Ma’am McAllen sangat baik padaku, dia menganggapku sebagai anaknya, karena Natal tahun lalu aku sudah memberikan warna yang berbeda dalam hidup keluarganya, itulah yang dia bilang, dia juga bilang aku sudah menyelamatkan keluarganya dari ambang perpecahan.
Saat turun dari pesawat itu, aku melihat betapa gersangnya daerah ini, tapi yang aku lihat hanyalah lima hingga tujuh sapi kurus. Aku bengong seperti orang tolol, seolah mengerti apa yang ada di pikiranku, Debby, begitulah aku menyapanya, bilang bahwa ini hanyalah savanna luas dekat perkampungan di daerah sini. Kami berjalan menyusuri savanna kecil- kecilan ini lalu aku katakan “That’s why we’ve seen the scraggy cow”. Saat tiba di perkampungan, aku melihat anak- anak berkulit hitam kurus tapi berperut buncit, rasanya aku ingin pulang saja, di negaraku juga masih banyak yang seperti ini. Tapi saat kulihat salah satu mereka tertawa di sela- sela kesengsaraan mereka, aku merinding. Aku ingin menangis. Lalu seniorku dari divisi yang berbeda, yang ddikenal bisa membaca pikiran orang berkata “Nggak jadi kan pulangnya, Mbak..?” dengan logat Jawa yang begitu kental “Mas’e nunggu kok”. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya “Halah, Pa’de ini, apaan sih?.”
Wajah- wajah mereka sama semua, aku yang memang bertugas di divisi pendidikan, akulah yang paling menderita melihat anak- anak ini. Di sini aku bertugas menjadi guru mereka. Bibir mereka kering terus, tidak pernah terlihat segar. Kadang, ketika aku membagikan roti kepada mereka, mereka senang bukan kepalang, ada yang berkelahi untuk memuaskan nafsu makan mereka, jika mereka merasa kekurangan. Lalat- lalat hinggap di tubuh mereka. Meskipun demikian aku segera menyayangi mereka. Saat melihat senyum mereka ada kebahagiaan tersendiri di hatiku. Tidak terasa beberapa bulan aku sudah di sini dan bulan depan adalah Desember. Di negara ini yang merayakan Natal sangat sedikit, tapi untunglah ada Debby dan beberapa teman lain dari Indonesia jadi tidak terlalu sepi.
Jika aku pernah bilang perayaan Natal di kampungku merupakan sesuatu yang sederhana, apa yang bisa aku katakan tentang perayaan Natal di daerah ini.  Harapan tentang salju dan Sinterkalas yang tertawa itu jauh dari kenyataan bahkan ketika aku ada di luar negeri sekalipun, apalagi musik dan nyanyian syahdu di sepanjang jalan. Tepat pada malam Natal pada tahun itu, segerombolan orang membawa senjata dan senjata tajam datang dan menjarah daerah itu, segera aku dan teman- teman dari UNICEF melakukan tindakan penyelamatan terhadap warga setempat dan melindungi anak- anak dan para wanita. Saat kami ada di tempat persembunyian, saat itulah hatiku hancur, hancur sekali, ini Natal terburuk yang pernah ada di sepanjang sejarah hidupku. Tidak ada pohon Natal, tidak ada semarak kelap kelip lampu Natal, tanpa biskuit, dan lebih sakit lagi tanpa keluarga.
“It’s often happened in our district, we live in fear” seorang wanita paruh baya memecah keheningan, aku tidak tahu harus bilang apa, percuma menghibur karena aku tidak tahu apa yang mereka rasakan di sepanjang hidup mereka. “We’re with you, now. Calm down, everybody!!” hanya itu yang bisa aku katakan. Debby tersenyum melihatku. Saat itu mungkin pukul tiga pagi, semuanya tertidur, tidur ayam, saat itu tiba- tiba semuanya terjaga mendengar suara ledakkan yang sangat besat. Mereka meledakkan sebuah mobil. Saat itu juga aku melihat seorang anak laki- laki kecil yang bersembunyi di luar di balik sebuah mobil. Dia ketakutan, menangis. “That boy!!” seruku. Aku langsung bergerak menuju pintu, aku ingin keluar dan menolong anak itu, karena aku khawatir mobil kuning yang di mana dia bersembunyi akan diledakkan juga. “What’re you doing?” kata seorang pria bule “Where’ll you go? You wanna die? bentaknya. Aku takut, tapi batinku meronta dan memintaku untuk menyelamatkannya. Aku tetap membuka pintu itu dan si pria itu berkata lagi  dengan menggenggam dan menarik tanganku dengan sekuat tenaga “Think clearly, that’s just one boy. If you die here, you can’t help other children. Sementara isak tangis para wanita yang melihat semakin ramai. ”It’s not time to think clearly. He’s alone. He needs me. That’s all. Now, let me go.” Aku berlari menuju bocah hitam menyedihkan itu. Aku lewat tumpukan sampah bau dan keadaanku sungguh menyedihkan dan menjijikan. Aku sudah ada di depan anak itu sekarang, pipinya basah matanya sembab,saat melihatku dia tersenyum gembira. Senyum penuh harap. Meskipun suara tembakan makin menjadi- jadi. Dia tetap tersenyum, tanda bahwa ia percaya bahwa aku akan datang mengambilnya dan menyelamatkannya sebelum peluru itu bersarang di tubuhnya.
Saat aku mulai bergerak ke arahnya, aku mendengar langkah kaki yang berderap, semakin mendekat, desang- desing peluru semakin ramai. Segera aku gendong dia. Lalu segera berlari melalui jalur lain bukan jalur tempat sampah itu lagi. Aku tertolong karena saat itu ada kucing yang berkelahi heboh sekali sehingga mengalihkan perhatian  preman- preman bersenjata itu. Aku berlari sebisaku dan kembali ke tempat persembunyian dengan aman tanpa kekurangan sesuatu hanya agak menjijikan saja. Anak kecil itu memelukku dan mengucapkan terima kasih di menciium- cium pipiku. Neneknya begitu bahagia melihat cucunya kembali. Pagipun datang, suasan sudah aman terkendali.  Aku membersihkan diriku. Debby memelukku dan teman- teman yang lain memujiku. Sementara pria bule tadi duduk di depanku ketika aku mengeringkan rambutku dengan handuk. “ Why didja put your life for a boy while many children here have been safe?” dia bertanya kepadaku “I don’t know, I just want to do that and I’m happy it’s useful for him” hanay itu yang aku katakan lalu aku pergi, aku masih agak kesal karena dia sudah menggenggam tanganku kuat sekali dan itu menyakitiku.
Natal ini, setidaknya aku belajar tentang arti kasih yang sesungguhnya. Bukankah Yesus lahir ke dunia untuk berkorban, lebih dari yang aku lakukan tadi. Aku tidak melihat salju ataupun menikmati biskuit buatan ibu, tapi aku mendapat senyum pengharapan dari anak kulit hitam itu. Dan Natal tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dimewah- mewahkan melainkan sesuatu yang menjadikan kita seseorang yang juga mau menerima damar pahit (mur)  lambang kesengsaraan selain menerima mas dan dupa harum (menyan) lambang kekuasaan kekal dan pujian.

Rabu, 24 Agustus 2011

PRESMA Vs PIHAK REKTORAT


Siapa yang Menabur, Dialah yang Menuai
Hukum tabur tuai, percaya atau tidak,  memang masih berlaku hingga saat ini. Faktanya ini terjadi di setiap aspek kehidupan kita. Ini menjadi sangat nyata ketika saya diperlihatkan bagaimana gerakan hukum ini terjadi begitu cepat, dalam hitungan menit.
Cerita ini terjadi pada tanggal 23 Agustus 2011, dalam acara peresmian penerimaan mahasiswa baru di salah satu universitas negeri termahsyur di Sumatera Selatan. Saat itu saya duduk di bangku khusus paduan suara mahasiswa, karena kebetulan saya sedang bertugas. Acara, pada awalnya, merupakan acara yang dilaksanakan dengan khidmat, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mars dan hymne universitas. Para mahasiswa baru pun mengikutinya dengan khusyuk, walau terlihat sedikit bosan, tapi mereka memberikan respek yang positif terhadap acaranya terlebih ketika mendengar kami bernyanyi dengan merdunya. Namun, ada pemandangan yang agaknya menguusik diriku untuk berbicara, aku sedikit terganggu dengan sekumpulan pemuda berbaju batik sama dan mengenakan stelan celana berbahan dasar yang dari tadi bolak- balik di depan bangku kami, padahal kami di depan. Pada satu waktu mereka agaknya galau dan salah satu dari mereka, yang disinyalir adalah Presma universitas tersebut terlihat sangat risau dan berbicara agak ngotot dengan temannya.
Tepuk tangan dari mahasiswa baru yang diperuntukan rektor sukses nan cantik itu terdengar sangat meriah. Rektor membacakan apa yang harus beliau bacakan dan menambahkan sedikit pesan kepada mahasiswa baru. Belum selesai beliau berbicara tiba- tiba
“Interupsi, interupsi, kita sebagai manusia yang punya hati nurani, marilah kita melihat bahwa teman- teman kita di luar sana tidak mendapat bangku, sementara kita……” Presma nan galau berbicara memotong rector yang sedang berpidato
“Maaf, maaf, mohon kita selesaikan dulu acara ini” kata Bu Rektor melanjutkan kata- katanya untuk maba, tapi buru- buru bilang “Assalamualaikum wr. wb.”
Presma tadi semakin galau dan tersulut emosi, dia semakin meradang, lalu PR I, II, III, turun dari kursi terhormat mereka dan mengamankan si mahasiswa galau ini. Kak Presma, yang bernama Dedi, mahasiswa Teknik Elektro 2007 ini memberontak dan tampaknya ingin kembali berbicara di depan khalayak ramai, ia mencoba melepaskan dirinya dari genggaman Om Anis Segaf (PR III) dkk. Salah satu om yang membantu mengamankan Dedi ini, mungkin tak dapat meredam emosi, dia memegang pundak Kak Dedi dan berkata “Awas kau yeh, saro kau kagek…”. Lalu Om Anis Segaf berusaha melerai Om yang emosian tadi sama si Dedi. Lalu Dedi pun  berlalu, seertinya dia keluar dan memikirkan cara bagaimana agar bisa menguasai panggung. Lalu Om Anis dan teman- temannya kemabali ke kursi terhormat di dalam perjalanannya aku mendengar beliau berbicara pada teman- temannya “Memang dalam satu tahun terakhir ini, si Dedi itu jadi biang keributan di kampus kita ini”. Lalu aku cari informasi, siapa sebenarnya Pak Anis itu kok bisa ngerti banget tentang si Dedi Kerok ini, lalu salah satu mahasiswa yang adalah seniorku yang bernama Andrew menjawab rasa penasaranku ini “Dio tuh dosen Teknik Sipil, dek”
Tidak lama dari jawaban Kak Andrew,  giliran Om Anis lah yang berbicara di depan maba, beliau memperkenalkan universitas dan sejarah universitas kepada maba. Kembali, Dedi, dkk memberontak membawa TOA, di tempat itu aku juga melihat Safriadi (pasti pemuda ini tidak asing buat kalian mahasiswa Pend. Kimia 2007) dia yang pegang TOA, kemana- mana. Lalu mereka mulai memprovokasi maba yang tidak mendapatkan bangku di dalam auditorium, mereka melakukan aksi. Sementara Pak Anis masih berbicara tentang pengenalan kampus, Dedi cs naik ke atas, mengambil mic dan berorasi, tapi mereka tidak mendapat respon positif dari 2.500 mahasiswa baru lainnya, maba masih fokus terhadap Pak Anis, aku dan teman- teman di paduan suara memberikan dukungan penuh kepada Pak Anis. Kami bertepuk tangan dan memberi sorakan dukungan terhadap Pak Anis, kenapa, karena menurut kami tindakan BEM adalah tindakan konyol, lalu Pak Anis berkata “Seperti yang saya katakan tadi, meskipun banyak mahasiswa yang sudah tidak beres lagi, tapi masih ada yang berhati mulia” sambil menunjuk ke arah kami. Lalu, Pak Anis mengingatkan kembali bahwa acara ini adalah acara rektorat, dan tanpa rektorat tidak akan ada penerimaan mahasiswa baru, dan Pak Anis pun kembali bertugas. Alhasil, BEM menjadi- jadi, mereka semakin buas, dan memprovokasi maba untuk duduk di bangku terhormat rector dan para professor yang sudah menimba ilmu sekian lama, BEM seolah- olah menginjak- injak harga diri dewan rektorat. Namun, ada juga beberapa mahasiswa yang tidak mengikuti apa yang seniornya itu sarankan tetapi ada juga yang memaksakan kehendak mereka kepada maba yang belum tahu apa- apa.
Lalu, BEM menguasai acara, mereka mengucapkan salam dan mengumandangkan “HIDUP MAHASISWA” tapi semangat mereka yang terbakar itu tidak disambut baik dengan ribuan maba di auditorium, mereka menjawab dengan letoy lalu si pembawa acaranya berkata “Wah, kayaknya kurang semangat apa karena puasa ya? Sekali lagii, HIDUP MAHASISWA INDONESIA…!!!”
Seketika itu juga maba dari beberapa fakultas keluar dari auditorium dan kembali ke fakultas mereka masing- masing. Dan Dedi pergi entah kemana ketika salah satu dari mereka yang bernama Arishanda yang adalah mahasiswa Teknik Elektro 2007 berbicara, dia berkata seolah-olah pihak rektorat yang salah karena tidak menyiapkan kursi buat maba, padahal mereka lah yang adalah panitianya tapi ketika kekurangan kursi mereka marah- marah dengan pihak rektorat, bukankah mereka konyol..? APALAGI, SI PRESMA, TAMPAKNYA DIA AKAN DAPAT VONIS DO, ITULAH GOSIP YANG BEREDAR SETELAH INSIDEN ITU TERJADI.

Senin, 22 Agustus 2011

Cerita Tentang Mereka


A
ku terlahir di sebuah keluarga yang sederhana. Sangat sederhana, sehingga aku harus sesederhana mungkin dalam berlaku, berpakaian, bergaya, hanya saja aku tidak bisa berpikir secara sederhana, pikiranku begitu kompleks sampai- sampai aku bingung sendiri tentang apa yang aku pikirkan. Keluargaku adalah sumber inspirasi buatku. Ayah, Ibu dan kedua adik yang aku kasihi dan hormati. Dari mereka aku belajar bagaimana mengahargai hidup. Aku bersyukur kok, dengan keadaan keluargaku yang seringkali dilanda krisis, terutama ekonomi. Tapi, kami tidak pernah kelaparan, kalaupun harus berhutang, orang lain masih percaya, bahwa keluarga kami sanggup melunasinya. Adakalanya ketika emosi kian membuncah- buncah, hal ini dapat dipastikan karena keuangan yang kian menipis dan secara mutlak Ibu-lah orang yang akan mengoceh seharian ditjukan ke Ayah lalu semuanya dapat bagian. Namun, Ayahku tidak pernah membalas semprotan ganas dari Ibu, beliau hanya mendengarkan, mendengarkan dan mendengarkan, hingga kadang- kadang aku juga tidak sabaran melihat kelakuan Ayahku, menurutku itu sangat tidak bijak, tapi kata Ibu (jika sudah dingin) salah satu dari pasangan memang harus seperti itu. Mereka memang guru yang baik buat hidupku.
Secara pribadi, aku tidak terlalu dekat dengan Ayah. Namun aku sering belajar dari beliau. Beliau tidak pernah mengajari sesuatu dengan teori- teorinya. Aku hanya melihat apa yang ia lakukan. Jika ku pikir- pikir setelah pengamatan selama kurang lebih 15 belas tahun terakhir, Ayahku punya jasa dan andil besar dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia khususnya di daerah Sumatera Selatan. Ayah bukanlah pribadi yang senang memuji. Seingatku, beliau tidak pernah memujiku, beliau lebih sering mengkritikku, tapi yang jelas aku tahu dia bangga kepadaku.
Ayah, di rumah, adalah orang yang paling jarang tertawa lepas,namun dialah orang yang sering membuat suasana rumah menjadi ramai dan bersatu. Dia sering mengarang cerita- cerita lucu menggunakan bahasa daerah yang pernah dia kunjungi. Membuat cerita yang horror tapi berujung lawakan lucu. Sayangnya, Ayah merupakan pribadi yang agak sedikit tertutup, dia jarang cerita tentang apa yang jadi masalahnya, apa yang mengganggu pikirannya. Jika beliau punya masalah, beliau akan duduk di ruang tamu, menyendiri selalu di kursi yang sama, memejamkan matanya dan melipat tangannya, berpikir atau mungkin berdoa, aku tidak tahu juga. Dari setiap tindakan Ayah, aku belajar untuk mengandalkan Tuhan sepenuhnya, bersyukur dalam setiap hal yang aku temui dan bersabar di tiap kesusahan yang ada.
Lain dengan Ayah, aku dengan Ibuku. Dia seperti sahabat, tidak ada rahasia antara aku dan Ibuku. Aku selalu menceritakan semuanya kepada Ibu, termasuk laki- laki yang dekat denganku atau yang mendekatiku, aku juga menceritakan semua temanku yang kadang punya kelakuan yang aneh, lucu, dan kebaikan mereka bahkan jika aku sedang kesal dengan mereka. Ibu adalah sosok yang mendukungku sepenuhnya, bisa dibilang dia pembelaku nomor satu di muka bumi ini. Namun Ibu jugalah yang paling sering memarahiku dan bercuriga ria tentangku. Ibu selalu punya ide- ide cemerlang dalam berbisni, sangat berbeda dengan Ayah yang sangat sosial. Jika saja Ayah punya ide sebagus ide Ibu dan memiliki jiwa bisnis seperti ibu, aku rasa kami sudah lama jadi orang kaya. Ibu adalah orang yang pantang menyerah, selama dia benar dia tidak akan ragu untuk mempertahankan apa yang benar, wanita ini adalah wanita perkasa pembela kebenaran. Ibu tidak sungkan membela orang yang tidak dikenalnya jika orang itu diketahuinya benar dan tidak bersalah. Orang kaya-pun jika dia bertindak salah di depan Ibu dia tidak segan- segan menegurnya secara baik- baik tapi jika orang tersebut agak nyolot, ya sudah apa mau dikata Ibu mengeluarkan urat untuk mempertahankan kebenaran, dan alhasil orang tersebutlah yang kena getahnya.
Jika benar kata orang bahwa tiap- tiap orang punya malaikat penjaga di bumi ini, ya pasti Ibuku itu malaikat penjagaku. Malaikat yang begitu cantik. Dia yang mengajarkan aku bahasa- bahasa santun. Dia pula yang mengajarkan aku berjalan. Dia yang menggandeng tanganku ini, supaya aku tidak terjatuh. Aku ingin jadi wanita seprti Ibu, wanita penuh inisiatif dan inspirasi. Wanita realistis yang sudah memperkenalkan dunia kepadaku, yang mengajarkan aku untuk jadi bijaksana dan membela kaum lemah, itulah yang Ibu berikan padaku ketika usiaku menginjak 17 tahun.
Dan kedua adikku..? Mereka bagaikan kado- kado Natal yang diberikan bukan pada hari Natal, dari mereka aku belajar saling melindungi. Mereka adalah teman- temanku, teman berbagi, berkelahi dan juga bercerita. Aku belajar bagaimana seorang kakak seharusnya, bagaimana seorang kakak menjadi teman bagi adik- adiknya. Berbagi pengetahuan dengan adiknya jarang aku temui di masa sekarang, tapi Ayah Ibuku berhasil menanamkan hal tersebut ke dalam hatiku.
Dari keluargaku ini aku belajar tentang cinta dan kasih. Aku bukanlah aku yang sekarang merekaa tanpa mereka. Aku bukan menjadi aku yang kuat, aku yang tegar, ataupun aku yang puitis tanpa mereka. Aku juga mungkin tidak akan menjadi seorang yang pantang menyerah, mungkin aku juga adalah orang yang tinggi hati tanpa mereka. Aku bersyukur kepada Tuhan atas pemberian-Nya dalam hidupku ini. Satu hadiah yang luar biasa, lebih berharga dari pada tumpukan berlian. Aku mengasihi mereka J

Jumat, 05 Agustus 2011

My Baby, My Boo, My Honey


Siang terik itu, di kala semua orang menahan lapar dan haus dalam rangka ibadah di bulan Ramadhan, aku dan kedua sahabatku, Natalie dan Harry, kelaparan dan sangat mengidamkan, sebongkah daging bulat dengan kuah yang sedap dan es kelapa muda yang begitu segar. Kami kelaparan tapi tak ada yang tahu ataupun mau tahu. Kami makan roti dan biskuit yang Natalie bawa untuk mencegah datangnya lapar terlalu cepat. Ternyata teman- teman yang puasa melihat dan menyesali perbuatan kami. Lalu dia berkata “Kalian tega ya..?.” Lalu dengan ekspresi datar dan tanpa perasaan bersalah aku berkata “Kenapa,  Gust, kamu mau…?” sontak sekelas tertawa dan mencemoohku. “Gila ya…” begitulah kira- kira yang mereka katakan.
Satu mata kuliah dengan dua pertemuan, unutk mengejar ketinggalan dari mahasiswa jurusan lain, kami hanya diberikan waktu seperempat jam untuk beristirahat. Mendengar lawakan renyah dari teman- teman yang lain yang sepertinya tidak pernah habis suara ataupun kehausan, mereka tetap menyajikan lelucon- lelucon yang sakti lucunya. Pukul dua belas siang, kami pun keluar kelas dan memantapkan hati kami menikmati makanan yang disebut dengan bakso, kami bergegas ke arah kedai yang menyediakan makanan tersebut,dalam perjalanan aku bercerita kepada dua teman durjanaku yang hidupnya dalam kenistaan tentang kisah cinta yang kini tenggah aku hadapi, kisah yang manis tapi membingungkan, Natalie sudah tahu tentang pria yang aku maksud.
Lalu dengan penasaran yang begitu besar, Harry bertanya “Siapa sih, kok lo ga cerita ke gue…?”.
“Enggak ah, aku ga mau cerita, ntar lo ngancurin hubungan gue sama dia, entar lo jadi orang ketiga diantara kita…” kataku ketus .
“Ih, ogah…”kata Harry. “Lo pikir gue mau ngerebut lo dari dia..? Ga lah, Res!! Ngawur aja lo” sambil mengejek.
“Bukan, bukan, bukan guenya” kataku. “Entar lo naksir sama Mas itu, yang lagi deketin gue. Ga rela deh” kataku membalas ejekannya.
“Hahahahahaha….” tawa Natalie meledak- ledak. “Bener banget. Ada baiknya lo rahasiain ini dari si Harry. Bener kata lo, entar dia bisa ngerebut Mas itu dari lo…”
“Halah.. dasar lo JOMBLO!!” katanya kepada Natalie. “Kalian tuh cari cowo, inget umur kalian udah 20 tahun” katanya mengejek aku dan Natalie.
“Eits, liat ya, gue udah punya pacar kok. Nih dia kirim BBM ke gue, dia anak FKUI” kata Natalie.
“Bohong” kataku. Emang lo udah ketemu sama dia..?”
Natalie tersenyum gundah. “Liat aja ya, dalam jangka waktu satu bulan gue pasti punya” katanya seolah mengajak kami bertaruh.
“Berarti yang tadi itu memang hanya bualan lo aja..?” tanyaku polos.
“Enggak dong, gue ga bohong” katanya. “Nama tuh cowo Bryan, panggilan sayang aku ke dia Baby Bryan. Baby Bryan itu orangnya cakep banget, nama lengkapnya Arnold Bryan, dia  sayang bangeet loh sama aku”
“Lo udah ketemu sama dia..?” tanyaku penasaran.
Natalie tersenyum malu, saat aku bertanya tentang hal itu. Lalu Harry tertawa meledak- ledak.
“Jadi maksud lo, lo udah punya pacar gitu..? Itu ga mungkin Res, kalo salah satu dari kita punya pacar, pasti ada sesuatu yang terjadi, biasanya peristiwa alam, geledek kek, kilat nyamber- nyamber kek. Ini kagak ada, berarti dia bohong.”
“Iya pasti lo bohong, ga mungkin alam tenang- tenang aja. Terus ga mungkin anak UI seputus asa itu cari pacar lewat BBM, kalo ada tuh orang pasti ngibulin lo, Nat…” kataku.
“ENGGAK!! Nih, Baby Bryan nyuruh gue makan, makan bakso” kata Natalie penuh kepasrahan.
Halah, itu Cuma karangan lo aja, lo kan memang pengen makan bakso”
Saat tiba di tempat bakso itu ternyata, kedai itu TUTUP, kami berusaha unutk memenuhi keinginan daging kami. Kami mencari angkot untuk keluar kampus dan saat di dalam angkot Natalie, masih menceritakan tentang Baby Bryan-nya, aku dan Harry hanya mengejeknya “Gila”.
“Ehm, kalo aku pacaran sama anak D3 UGM boleh ga…? Tanyaku
“Boleh, boleh” kata Harry
“D3 Akutansi UGM, boleh..?” tanyaku lagi
“Boleh dong” kata Natalie
Misalnya dia nerusin S1 di ekstenssi UI boleh juga…?” tanyaku
“Boleh, Teresa, bolehhhhhhhh” jawab si Harry agak kesal
“Tapi namanya siapa ya…?” tiba- tiba aku mengajak mereka berpikir.
“Siapa ya…? Kata si Natalie. “Haaaaaaaaaa, jadi belum ada…?”
“Belum” aku berkata sambil menggelengkan kepala.
“OIIIIII, gue pikir lo udah ketemu sama orang itu, kayak udah bener- bener mau pacaran aja, ternyata lo berdua sama aja, GILA, kasian gue sama kalian” kata Harry sambil tertawa terpingkal.
“Ahahahahahahahahha, lo ga jau gila dari gue, Res.....” kata Natalie tertawa puas.
“Tapi siapa ya nama panggilan sayang gue ke dia…?” tanyaku polos.
Kami berpikir sekian lama, gonta- ganti nama akhirnya aku mendapat nama yang pas Davis Boo, dalam khayalanku, Davis Praditya adalah pemuda keturun Jawa yang santun dan pintar. Setamat kuliah D3-nya dia diterima bekerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta dan meneruskan S1-nya di UI.
Lalu aku  dan Natalie memikirkan bagaimana nasib teman laki- lakiku inI, Harry. Akhirnya kami pikirkan nama wanita untuknya Anabelle Honey, kami gambarkan seorang gadis Batak yang ada di lingkungan kampus kami dengan jurusan yang berbeda dengan kami dia sekarang berada di FH Unsri, Anabelle Panjaitan.