Total Tayangan Halaman

Jumat, 22 Oktober 2010

Si Mbah di Senja Hari


-Tak ada yang mampu memisahkan aku dari kasih Bapa-ku-
Si Mbah di Senja Hari
Prittttttt….. Kiri dikit, kiri, kiri., ya… Itulah pekerjaan wanita tua renta satu ini, tukang parkir. Mbah Klimah, begitulah ia kerap dipanggil. Usianya sudah 75 tahun, tapi itu tidak membuatnya menyerah dan berpasrah pada kenyataan. Ia memang betul-betul wanita perkasa meski di tengah-tengah putihnya rambut, namun ada semangat yang tidak pernah padam dalm hati si Mbah. Pekerjaaan sebagai tukang parkir sudah ia jalani selama 10 tahun, dulunya Mbah Klimah bekerja sebagai buruh pabrik kopi sambil berjualan sayur. Namun karena pabrik merekrut pegawai-pegawai baru yang masih muda-muda, terpaksalah nenek satu ini, hengkang dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik.
Mbah Klimah, meski dalam keterbatasannya, ia tidak pernah mengeluh, tidak pernah enggan member, ia selalu mau berbagi dengan orang lain, apalagi dengan orang yang membutuhkan, kenal tak kenal, si Mbah tidak pernah lesu dalam berbagi, siapapun dia, ketika Mbah Klimah merasa iaa mampu menolong, ia pasti menolong. Mbah Klimah menjadi tukang parkir di depan salah satu rumah makan khas Jawa, ia bekerja demikian giat demi dua orang cucunya,  Bagus dan Dinda.
Bagus adalah cucu pertama si  Mbah, Bagus duduk di bangku kelas dua SMA, setiap hari, sebelum berangkat ke sekolah Bagus  menjadi loper koran. Pagi- pagi Bagus sudah bangun, jam 04.30, ia  bergegas dengan sepedanya, menuju agen yang sudah bekerjasama dengan Bagus, pukul  05.00 Bagus sudah mengantarkan koran-koran ke rumah-rumah para pelanggan, kadang ada pelanggan yang baik yang memberikan Bagus, satu atau dua potong roti untuk Bagus sarapan, kerap kali Bagus tidak makan roti itu, ia menyimpannya dan ketika ia pulang ke rumah, ia memmberikan roti itu atau makan roti itu bersama Dinda, sang adik. Bagus, adalah salah satu siswa berprestasi di sekolahnya, Bagus merupakan juara kedua Olimpiade Matematika, maka dari itu ia mendapatkan beasiswa dari sekolahnya, hanya saja ia bekerja untuk membantu si Mbah mencukupi kehidupan sehari-hari dan untuk membeli buku sebagai suplemen, ia belajar di sekolah. Dinda tak kalah dengan Bagus, Dinda juga adalah siswi berprestasi tak hanya di bidang akademis, namun Dinda adalah seorang anak yang cepat tangkap dalam hal bermusik, ia cukup melihat dan mendengarkan, Dinda sudah bisa mengikuti ,lagu yang dimaksud dengan cepat memang jika dibandingkan dengan anak-anak yang benar-benar mendapat pendidikan musik dari tempat les berbeda, tapi tak kalah dari mereka. Cita-cita Dinda sederhana saja, ia ingin menjadi seorang guru, ia ingin semua orang, terutama anak-anak di daerahnya menjadi anak-anak yang pintar, bisa membaca, bisa menulis, berhitung, dan tidak ditipu orang. Mbah Klimah mempunyai seorang anak perempuan, yaitu ibu dari Bagus dan Dinda, namanya Tanti. Bu Tanti, dia hanya di rumah saja, karena kondisi kesehatannya, beliau tidak boleh bekerja berat, Bu Tanti menderita penyakit yang ia sendiri tidak tahu apa itu, jika ia merasa sakit Mbah Klimah memberinya jamu, mereka tidak punya cukup uang untuk memeriksakan  Ibu Tanti ke rumah sakit, jadi Bu Tanti membantu Mbah Klimah sebisanya saja, ia memasak, menyiapkan makanan untuk si Mbah dan kedua anaknya, Bagus dan Dinda. Ia juga dibantu Dinda, ketika Dinda pulang sekolah.

Kehidupan yang dijalani oleh Mbah Klimah dan keluarganya memang susah, tapi siapa yang tahu dengan kesusahan mereka?  Tak seorang pun. Mbah Klimah, bukannya berlagak sok kaya ataupun apa,  tapi Mbah Klimah mengajari anak dan cucu-cucunya untuk hidup dalam rasa bersyukur, karena rasa syukur merupakan kunci dari sebuah kehidupan yang bersukacita. Siapa sangka jika mereka hidup dalam keadaan berkekurangan? Siapa yang tahu mereka hidup di dalam ketidakpastian akan hari selanjutnya? Tidak ada. Mereka masih mampu berbagi, itulah sebabnya orang-orang menganggap keluarga ini serba berkecukupan.
Memang dulu hidup mereka terjamin, dulu ayah Bagus dan Dinda bekerja di sebuah kapal, suami dari ibu Tanti ini adalah petugas pencatat barang, jika ada barang yang masuk ke kapal,Pak Dito-lah yang mencatanya  , memang jabatan dan gajinya tidak seberapa, tapi setidaknya cukuplah untuk kehidupan mereka, dan sekolah anak-anak. Tapi siapa yang sangka, kalau keadaan bisa berubah dengan cepat. Sore itu, ketika Pak Dito sedang mencatat barang-barang yang masuk ke dalam kapal, Pak Dito mendengar teriakan minta tolong dari bawah, ia mencari dengan cepat sumber suara itu, ternyata suara itu berasal dari ruang mesin. Saat Pak Dito membukanya, tiba-tiba, blep, seketika itu ia terjatuh, dan meninggal dunia begitu juga  teman yang akan ditolong Pak Dito. Saat keluarga dihubungi, perasaan mereka kalut, seakan-akan itu hanyalah sebuah mimpi buruk dan rasanya cepat-cepat mereka ingin bangun dari sebuah mimpi yang mereka alami bersama. Saat jenazah Pak Dito datang, Bu Tanti menangis dengan sangat sedih, sedih sekali, Dinda menangis sejadi-jadinya, ia rasanya tidak rela bisa, dikatakan ia belum siap situasi seperti itu, saat itu Dinda duduk di bangku kelas 5 SD, masih terlalu belia bukan?, dalam usia sedemikian ia harus menghadapi sesuatu yang sangat berada di luar dugaan. Sedangkan Bagus, yang saat itu berusia 14 tahun, tidak menangis sama sekali, dialah yang mempersiapkan semuanya, ia menyiapkan air untuk memandikan jenazah ayahnya dan mempersiapkan pakaian-pakaian yang akan dipakai ayahnya, ia menghibur neneknya yang saat itu hanya bisa terdiam dengan mengeluarkan air mata, bahkan ia juga berusaha menenangkan Dinda di tengah kesediahan hatinya, di tengah kekuatirannya. Sementara itu, Bagus sendiri sebenarnya bergumul, bergumul begitu dahsyat dengan suara-suara di hatinya. Apa ini..? Mengapa ini bisa begini..? Rencana macam apa yang Tuhan siapkan..? Kekuatiran mulai muncul, rasa tidak percaya mulai datang, ia seolah-olah tidak ada tujuan dan ia merasa  tidak ada lagi yang pantas dipercayai lagi. Namun, tiba-tiba si Mbah berkata “tetaplah percaya, apa yang terjadi semua kehendak Tuhan, itu berarti ada rencana besar di depan sana, yang sudah menanti, tapi sekarang ,Tuhan mau melihat apakah kita tetap setia”. Kata-kata Mbah Klimah, terus terngiang di telinga dan pikiran Bagus, Bagus seakan-akan ragu, untuk Bagus tantangan ini terlalu berat dan ia merasa  tidak sanggup untuk menjalani hidup ke depannya. Tapi sekali lagi Mbah Klimah membaca, guratan keraguan di wajah Bagus, Mbah Klimah hanya bilang “ bapa di dunia memang tidak kekal, tapi ada Bapa abadi yang senantiasa setia dengan kita”. Kata-kata itulah yang menguatkan Bagus hingga saat ini, empat tahun berlalu. Mbah Klimah memang pahlawan iman dan pahlawan doa bagi kehidupan keluarga ini. Mbah Klimah memang sangt berpengaruh besar bagi Bagus, Dinda dan tentu saja Bu Tanti, yang mampu menjalani hari-hari dengan tegar, semua itu tidak lepas dari doa si Mbah dan anak-anak.

Teriknya matahari, tidak membuat Mbah Klimah jadi malas, enggan, ataupun ingin pulang. Sebenarnya, kalaupun ia pulang tidak akan menjadi masalah. Namun, mengingat wajah-wajah Bagus dan Dinda, cucu-cucunya yang pintar-pintar. Tukang parkir, wanita, sudah mbah-mbah lagi, begitu luar biasa. Orang-orang yang parkir menyukai kinerja Mbah Klimah, ia murah senyum dan ringan tangan, pemilik rumah makan yang memperkerjakan Mbah Klimah merasa puas  dan tidak menyesal menggunakan jasa Mbah Klimah. Meski ia mendapatkan uang tidak seberapa, tapi setidaknya cukuplah untuk satu dua hari, lagipula sekarang Bu Tanti sudah punya usaha kue, meskipun kecil-kecilan, tapi bukankah yang besar berasal dari yang kecil..? Setuju kan..? J
Usaha kue ini, sebenarnya terbilang sangat baru, ya, sekitar dua bulan. Bu Tanti menitipkan kuenya di warung-warung, di kantin sekolah Bagus dan Dinda dan belakangan ini kue buatannya sudah mulai dikenal orang banyak, jadi banyak orang yang memesan kue pada Bu Tanti, untuk acara-acara rumahan, arisan, kumpul keluarga. Mbah Klimah sangat mendukung usaha yang dijalankan Bu Tanti, begitupun Bagus dan Dinda, bahkan modalnya berasal dari uang Bagus hasil menjadi loper koran.
Tiba-tiba suatu hari…..
Bersambung..