Total Tayangan Halaman

Sabtu, 12 Maret 2011

Doa Atira


Seperti biasa, pagi ini masih sama seperti pagi kemarin, aku bangun kesiangan, aku terlalu terburu- buru kali ini. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, aku belum apa- apa, aku harus memutuskan apakah aku harus ke kampus atau lebih baik aku tidak datang karena aku sudah terlambat. Sebenarnya, jadwal kuliahku akan dimulai pukul 08.00 pagi, tapi, perjalanan ke kampusku merupakan serangkaian perjalanan yang panjang. “Baiklah” kataku sambil turun dari tempat tidurku “aku akan kuliah, jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan aku lihat di sepanjang hari ini, pasti banyak kejutan- kejutan yang kecil tapi luar biasa”. Setelah mandi, aku lihat di meja makanku tak ada satupun makanan yang dapat kugunakan sebagai pengganjal perutku. Terpaksalah aku mempersiapkan uang lebih untuk membeli roti atau apalah untuk sarapanku hari ini, aku rada kesal tapi tak apalah ini demi sahabatku dari kecil, perutku atau lebih tepat lambungku.
Kupakai syalku, saat ini, musim gugur, angin bertiup sangat dingin, mungkin karena aku tak terbiasa, karena kampong halamanku adalah negeri yang bersiramkan sinar matahari yang sangat cukup. “Musim gugur ini akan panjang, Terry” seorang anggota security apartemen mengingatkanku “Pakai sarung tanganmu, haru ini akan terasa lebih dingin”. Aku tersenyum ramah melihatnya, dia sangat baik padaku, selama aku tinggal di tempat ini, “Terima kasih, Paman Kurt, aku berangkat ya, sampai ketemu” kataku sambil melambaikan tangan. Dia balas melambaikan tangan sambil mengingatkanku untuk berhati- hati. Ku lihat jam tanganku, hadiah ulang tahun yang ke 20 dari ayahku, 07.10, waw!! Ini waktu yang cukup singkat dari mandi hingga dapat turun ke lantai dasar. Tiba- tiba aku merasa sangat merindukan ayah, ibu, serta kedua bocah ingusan itu, aku juga terbayang akan pohon kelapa di depan rumahku.
Sebenarnya aku ingin naik bis saja, tapi sepertinya aku akan telat terlalu lama jika aku menunggu di halte ini, maka dari itu aku memutuskan untuk pergi ke stasiun kereta, untuk naik becak, tidak, tentu saja untuk naik kereta api (tidak ada becak di negara ini, entah kenapa). Stasiun kereta, tidak terlalu jauh dari apartemen tempatku tinggal, masih dengan prinsip yang sama, seperti di tanah airku, bahwa konsep kestrategisan tetap jadi kunci utama lakunya apartemen di kalangan masyarakat. Karena aku terbiasa jalan cepat tidak sampai 10 menit aku sampai di stasiun kereta itu, megah, sangat jauh rasanya dari stasiun kereta api di kota asalku.
Sembari aku menunggu waktu keberangkatan, aku melihat seorang gadis kecil, yang memang setiap hari ku lihat, wajahnya banyak bintik- bintik, rambutnya jingga, dia gadis kecil yang berbinar. Gadis kecil itu selalu bahagia (mungkin), sepertinya dia tipe anak yang selalu bersemangat. Aku suka melihatnya. Saat aku ingin mendekatinya, keretaku akan berangkat, jadi masuklah aku ke dalam kereta itu, ramai sekali, semuanya hendak pergi dengan beragam niat. Dua puluh menit, aku tiba di daerah kampusku. Tidak jauh bedalah dengan fasilitas kampusku yang dulu, aku tidak tahu apa nama kereta yang baru saja aku tumpangi, tapi aku selalu ingat dengan si “Seruni” kereta api yang mengangkut mahasiswa dari kabupaten tempatku berkuliah ke kota madya tempatku tinggal.
Aku berjalan, bahkan berlari, karena 10 menit lagi kelas akan dimulai, aku sangat terburu- buru sehingga aku melewatkan wajah yang selama ini aku selalu ingin aku lihat. Tapi taak apalah, nanti siang aku akan melihatnya.
 Tepat sekali, 08.05, aku tiba di kelas, teman- temanku dengan perasaan cemas berbalut heran bertanya “ Mengapa kali ini siang sekali?”, aku menjawab dengan santai “Aku hampir lupa bangun” kataku ngos- ngosan. “Bwahahahahaha…. “ Nigel tertawa “Orang macam apa kau ini, lupa bangun, benar- benar aneh”. Aku hanya mengernyitkan bibirku “ Memangnya kau tidak pernah terlambat karena bangun kesiangan ya?” tanyaku. “Tentu saja itu sering terjadi, tapi aku tidak lupa cara bangun tidur, Nona” katanya. “ Haaaa…. Itu sama saja, Nigel, itu lidak lebih baik dari pada alasan Terry hari ini, lagi pula kau tidak terlambat hanya hari ini saja, jangan bangga” kata Gwen sii gadis cantik berambut pirang membelaku. Roxanne yang begitu langsing serta si mungil Shannon tertawa melihat Gwen yang jarang bicara, akhirnya bicara sepanjang itu.
Akhirnya dosen itu masuk kelas, setelah, kurang lebih dua jam kami belajar dengannya, kelas pun berakhir, mmata kuliah yang indah, tentang sastra. Aku suka kata- kata, begitu mempesona, kata- kata selalu membuat aku bahkan beberapa orang mampu berimajinasi. Kadang imajinasi yang liar.
Aku pulang, bersama Gwen, Roxanne, Shannon, serta Zeke dan Chen, dua pemuda warga negara Amerika, tapi Chen adalah seorang keturunan China yang tinggal di Amerika dari kecil, karena karir ayah dan ibunya. Seperti biasa, karena ini awal bulan November, udara masih saja terlau dingin untukku.
Dalam perjalanan kami ke toko perlengkapan rumah tangga itu, kami banyak bercerita lalu Zeke bertanya “ Bagaimana perasaan kalian dapat berkuliah di sini?”. Gwen dan Shannon menjawab hampir bersamaan “ Aku senang sekali, ini membuatku bangga”. “Begitupun  aku” jawab Chen, “Kalau kau Terry?”. “Aku juga sangat senang, senang sekali, ini mimpiku dan akhirnya itu jadi kenyataan” kataku. Kami melihat kea rah Roxanne, lalu di menjawab “ Aku juga senang, aku senag bertemu kalian, tapi  aku hanya di negaraku saja, walau kuliah strata 1, aku berkuliah di negeri orang”. Zeke tertawa dan berkata “ Itulah hidup, teman- teman tidak selamanya kita berjaya”. Kami semua hanya tertawa sambil melihat wajah Roxanne yang kesal terhadap Zeke.
Setelah belanja ini dan itu untuk keperluan satu bulan, kami berenam berpisah dan aku kembali melewati jalan yang sama, aku melewati kedai es krim, dan melihat gadis kecil itu, dia melepaskan sepatunya, karena sudah rusak parah, ia berhenti di depan toko coklat itu yang bertuliskan “HARAP KENAKAN SEPATU ANDA” dari kejauhan aku melihatnya, aku berjalan lebih cepat agar aku bisa membantu gadis kecil idolaku itu, dia tampak putus asa, nampaknya ia sangat menginginkan coklat seharga £2. Aku berpikir mahalnya coklat di negeri ini, (tapi memang sangat enak sih) semakin cepatlah aku berjalan, tapi tiba- tiba, aku terhenti karena wajah itu, wajah yang mengalihkan duniaku dan laagi kali ini dia tersenyum padaku, aku terasa beku, bukan karena angin musim gugur, tapi karena senyum itu, lalu handphone-ku berbunyi, ini hanya ulah iseng Chen dan Zeke, yang seringkali mengirimkan SMS tidak jelas, persis seperti teman kuliah ku dulu Wawan.
Aku tersadar, saat aku mendekat ke arah gadis kecil idolaku itu, tiba ada seorang laki- laki berbadan besar, dengan perut Bang Bajuri, mendekat ke arahnya, aku sudah membayangkan hal- hal buruk akan menimpa si rambut jingga itu. Namun “Hai nak…” kata Bapak itu,” Apa yang kau lakukan di sini?” Aku ingin membeli permen coklat, tapi sepatuku ini tidak bisa ku pakai lagi, jadi sekarang aku dalam kondisi bingung” Si Bapak 40-45 tahun (menurut perkiraanku) itu tersenyum dan berkata “ Pakailah sepatuku dulu belilah coklat-mu, memang kebesaran tapi setidaknya kau menggunakan sepatu untuk bisa masuk ke dalam, aku akan menunggu di sini lagi pula aku sedang tidak terburu- buru”.. Gadis kecil itu sangat bersukacita ia berbinar lagi , dipakailah sepatu besar di kaki mungilnya itu, seteelah itu ia kembali lagi dan mengucapkan terima kasih katanya “ Terima kasih , tuan. Anda baik sekali, Anda seperti seorang malaikat, apa Anda mau mencicipi permen coklat ini?” Si Bapak itu tersenyum senag dan puas “ Tidak terima kasih, makanlah, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa”
Aku lega, ternyata laki- laki paruh baya itu, orang yang berhati lembut, tidak terlalu plin- plan sepertiku. Bahkan dia lebih baik dari padaku, dia menetapkan hatinya  untuk menolong bocah itu tanpa peduli apa yang mungkinorang pikirkan tentang dia, saat selama 15 menit ia hanya memakai kaos kakinya di tengah dinginnya musim gugur yang panjang ini. ”Musim gugur yang panjang???? Oh, tidak….. Gadis  itu, bukankah sepatunya rusak parah, tidak bisa dipakai lagi” aku berbicara sendiri dengan wajah sangat cemas. Lalu aku mengejar gadis cilik itu, lalu aku berhenti tepat di sebelahnya. Dia tersenyum ramah dan bertanya kepadaku “ Hai, Nona, apakah Anda sangat terburu- buru? Mengapa lari- lari?” .       “ Tidak terlalu, aku hanya ingin berjalan di sampingmu saja”. Matanya yang hijau- kelabu terbelalak. ”Jalan bersamaku?. Apakah Anda mengenalku?”. “Tidak” kataku sambil tersenyum “ Sebentar. Kakimu, apa tidak kediinginan?”. “ Tentu saja ini dingin sekali, tapi apa boleh buat sepatuku ini rusak dan aku tidak bisa membeli untu gantinya” jawabnya enteng. Ku pikir aku masih punya uang yang cuukup untu bulan ini, meskipun ku pakai untuk membelikannya “ Ayo, karena aku menganggapmu teman, aku akan membelikanmu sepatu, mungkin tidak terlalu bagus, tapi lumayanlah untuk mengganti sepatumu itu”.
“Aku beli yang ini ya” sambil menyerahkan uang dan sepatu pilihan gadis kecil itu ke kasir. “Terima kasih” kata si kasir itu. “Nona, terima kasih ya, meskipun aku tidak mengenalmu, tapi kau sudah menolongku, kau sangat baik, hatimu seputih salju”. Aku agak terkejut dengan kata- kata itu “ Dari mana kau belajar kata- kata indah itu..?”. Aku sering mendengar tetanggaku yang berusia 15 tahun membaca itu, aku tidak begitu paham, tapi kedengarannya itu bagus”. Jawaban yang lucu . “ Siapa namamu?” tanyaku penasaran. “Atira Wilson, nama Anda?” dia balik bertanya. “Terry . Terry Ulani. Aku bukan dari Eropa ataupun Amerika jadi aku tidak punya nama belakang dari ayah seperti orang- orang sini pada umumnya” jawabku sambil menjelaskan agar dia tidak bingung. “ Terry” kata Atira “itu informasi yang sangat lengkap, kau menjawabnya, bahkan, sebelum aku bertanya tentang itu. Apakah kau bersekolah di gedung yang besar itu? Sambil menunjuk kea rah kampusku. “Ya, Atira. Oh, iya… Namamu sangat bagus, pasri orang tua-mu sangat pintar…” aku bilang kepadanya. “Bagus ya…? Tapi banyak orang bilang namaku itu sangat aneh, tidak sering terdengar, seperti nama seorang perempuan yang suka mengubah orang menjadi kodok” katanya sambil cemberut. “Wah.. orang yang bilang seperti itu. Pasti tidak tahu banyak tentang kata- kata. Atira itu artinya doa. Aku sangat suka kata itu. Berapa usiamu, Atira? Dan, dimana kau tinggal, karena kau sering melihatmu di stasiun kereta. “ Aku senang, kau suka namaku, akrena kau adalah orang pertama yang sepertinya menyayangiku. Aku adalah yatim- piatu, Terry, aku juga tidak punya saudara, aku tinggal di rumah, sebuah keluarga yang sangat ramai, setiap hari mereka selalu rebut, mereka akan menyalakan TV dengan volume yang sebesar- besarnya, itu sangat mengangguku, tapi aku sangat berterima kasih karrena mereka sudah membesarkan aku. Aku tinggal di daerah Bollingbroke, kalau ada waktu mampirlah ke rumahku. Tapi, Terry, apa doa itu..? Aku sering mendengar nenek yang tinggal di seberang rumahku, dia bilang dia berdoa, lalu seganya akan jadi baik- baik saja”.
Aku tersenyum menanggapi pertanyaan si gadis kecil superior ini. Untunglah, hanya ada satu mata kuliah hari ini.  Aku mencoba menjawab “Atira, doa itu adalah saat- saat di mana kau berbicara kepada Tuhan, seperti halnya sekarang kau berbicara kepadaku, tapi dinamakan doa karena itu adalh pembicaraanmu dengan Tuhan. Benar kata nenek itu, ketika kau berdoa semuanya akan baik- baik saja, bahkan berdoa akan membuatmu lega dan merasa berkawan ketika kau merasa sendirian.”
“Siapa itu Tuhan…? Mengapa kita harus berdoa kepadanya buka kepada yang lain?” tanyanya lagi. “Tuhan itu adalah Orang  yangmenciptakan alam semesta ini, mengatur musim, Dia juga yang membuat pohon- pohon ini, ketika hari mulaai gelap, ia juga sudah menyiapkan waktu yang tepat agar matahari datang lagi bersinar di atas bumi ini, supaya kita tidak terlalu lama dalm gelap” jawabku apa adanya. “Apa Tuhan itu baik?” Atira bertanya. Mengapa dia tidak tahu dengan Tuhan ya..? pikirku dalam hati. “ Tentu saja Tuhan itu baik, kalau Ia tidak baik mana mungkinkau bisa meraasakan dinginnya musim dingin ataupun gugur ini, hangatnya matahari musim panas, atau warna- warni muim semi. Kau masih bisa merasakan senang atau sedih kan?” tanyaku, disertai anggukan Atira idolaku, yang ternyata harus aku ajari tentang siapa Tuhan itu, ya, mungkin, seperti saat Sekolah Minggu dululah.
 Kami ada di stasiun kereta saat ini, menunggu sebentar- tidak terlalu lama, kereta yang menuju daerah kami datang, aku duduk di sebelah Atira. “Rambutmu panjang dan bagus” kataku kepadanya  “Matamu juga, aku suka itu”. “Kau menyukainya Terry?” katanya tidak percaya, “ahhh.. kau orang pertama yang bilang rambut ini bagus, mereka, anak- anak dari keluarga Evans sering mengejekku karena rambutku yang aneh, menurut mereka. Ron, yang nakal. Buck, yang usil. Jeanie yang suka marah- marah. Gladys- Gabriella, sepasang kembar yang selalu bertengkar. Kadang- kadang aku merindukan ayah dan ibuku, apalagi ketika aku memiliki cita- cita, dan mereka seolah meremehkannya, kadang mereka mencercaku karena mimpiku itu, padahal aku rasa itu kan tidak menggangu mereka”. “Ya, aku pernah mengalami hal serupa, seseorang pernah merendahkanku saat aku menyebutkan universitas mana yang akan aku tuju untuk program sarjanaku saat itu, tapi karena aku berdoa, maka Tuhan yang baik, menolongku, sehingga aku mampu duduk di universitas yang aku sebutkan di depan orang itu.” Kataku supaya ia tidak menyerah karena lingkungna yang agak keras dan tidak terlalu terpelajar. “ Terry kapan dan dimana aku bisa berdoa?” tanyanya. “ Kau bisa berdoa kapan saja Atira, saat Kau senang, sedih, kau juga bisa berbagi cerita dengan-Nya, Dia tidak pernah tidur, tidak pernah lelah, saat kau berdoa lipat tanganmu dan berlututlah, bicara pada-Nya, Dia itu Bapa-mu” kataku sambil tersenyum.
“Dia tidak pernah tidur katamu, dan tidak lelah?  tanyanya keheranan, “ Apa dia terlalu sibuk hingga tak ada waktu tidur lagi? Kasihan Dia!!” dia berkata sangat sedih. “ Ya, bisa dibilang Dia sangat sibuk, Dia harus mendengar doaku, doamu, doa wanita itu, jika ia berdoa, tapi walau kau tak berdoa, sebenarnya, Dia selalu memperhatikanmu” kataku. “ Bahkan, saat ini dia sedang memperhatikan kita, menjaga kita agar kita tidak jatuh dan, ya,, agar tidak ada orang yang berbuat jahat kepada kita” tambahku.
Kami tiba di daerah tempat kami tinggal, Bollingbroke, dan aku menunjukkan gereja “Kau bisa berdoa di sana juga, kapanpun kau mau”. “Apa kau mau menemaniku saat ini, Terry?” tanyanya dengan wajah penuh harap. “Baiklah, aku mau, ayo..!
Kudengar doa Atira terasa lucu tapi begitu jujur, aku ingin menangis juga karena kata- kata yang begitu polos ku dengar. Ini doanya..
“Selamat sore, Tuhan. Aku Atira. Aku mungkin baru hari ini mengenal-Mu, tapi sebenarnya aku sering mendengar tentang-Mu, tapi tidak ada yang punya cukup waktu untuk menjelaskan tentang-Mu, untunglah aku bertemu dengan Terry, dia juga baru ku kenal, tapi aku merasa dia sangat baik. Dia bilang aku bisa menjadi sahabat-Mu, apa Kau bersedia? Karena Kau sangat baik, aku percaya Kau mau jadi temanku. Tuhan, aku tahu Kau melihat semua yang sudah aku alami dalam hidupku ini,  saat ini aku tujuh tahun, tapi rasanya hidupku ini terlalu sulit, tidak seperti teman- temanku yang lain. Aku mohon Tuhan, Engkau, kiranya membuat hidupku lebih mudah agar semuanya bisa berjalan baik- baik saja. Buatlah aku lebih kuat jika semuanya tidak bisa menjadi lebih mudah. Tuhan, terima kasih karena Kau sudah mengirimkan teman buatku, tentu saja, Terry, meskipun dia lebih tua dariku, tapi, terima kasih, Tuhan. Satu hal lagi Tuhan, jangan terlalu lelah, Kau harus jaga kesehatan-Mu, karena Kau akan sangat sibuk, karena yang berdoa pada-Mu hari ini bertambah, yaitu, aku, Atira. Terima kasih Tuhan, selamat sore”.
Aku tersenyum, melihat wajahnya yang sangat letih namun berbinar. Dia nampak lebih kuat dari sebelumnya. Kami pulang ke rumah kami masing- masing, dia bilang dia tidak bisa main ke rumahku hari ini, karena hari suudah sore, dan tentu saja banyak tugas yang menantinya.
Saat waktunya aku naik ke tempat tidur, aku memikirkan kata- kata dalam doa pertama Atira, ya, dia minta jalannya dimudahkan, tapi ia tidak terlalu memaksakan agar itu terjadi tapi sii gadis rambut jingga itu bilang agar ia dikuatkan untuk menjalani hidupnya yang sangat berat. Hari ini aku belajar bahwa, jalan yang mungkin kita hadapi mungkin bukanlah jalan yang rata dan selalu aman tapi percayalah bahwa ada Tangan yang Kuat yang menuntun hidup ini agar kita kuat menjalaninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar