Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 September 2011

My New Christmas


Natal. Bagiku, adalah suatu momen yang aku tunggu di setiap tahun dalam hidupku. Aku selalu merindukan Natal itu, aku selalu merindukan suasananya yang begitu hangat, suasana yang damai, ramai, dan menyenangkan. Di negaraku, yang merayakan Natal memang tidak terlalu banyak, apalagi di kampungku, tapi aku melihat ketika para tetangga yang beda agama berdatangan ke rumah, menyisihkan waktu mereka untuk mengucapkan “Selamat Natal”. Aku selalu menantikan  ketika adik-adkku, ayahku, dan aku mendandani pohon Natal, sedangkan ibu menyiapkan makanan. Kami membuat kue 8 jam (kue Palembang), biskuit, rendang (makanan khas Padang), untuk disantap bersama keluarga, kerabat, dan para tetangga.
Suasana Natal yang begitu hangat dan terbilang sederhana di daerahku ini, membuatku terkadang begitu menginginkan Natal yang berbeda, seperti Natal di Amerika ataupun di negara- negara Eropa. Salju putih, Sinterklas dengan tawanya yang begitu khas, nyanyian- nyanyian Natal di sepanjang jalan, mengucapkan “Merry Christmas” pada setiap orang yang lewat, sepertinya begitu indah dan merupakan sesuatu yang aku impi- impikan. Aku bertekad untuk bisa ke sana dan merayakan Natal di sana dan menikmati salju yang begitu lembut itu. Selama kuliah aku menanamkan hal tersebut dalam hatiku aku percaya jika aku bermimpi dan menyerahkannya kepada Tuhan, serta berusaha, maka Tuhan tidak akan diam saja, Dia kan bertindak dan menolongku.
Setamat kuliah aku melamar di organisasi dunia yang ada di bawah naungan PBB, UNICEF, ini merupakan mimpiku, ketika aku bisa berbagi dengan sesama, terutama anak- anak dengan pendapatan yang bagus (tidak munafik aku membutuhkan uang juga). Meskipun aku harus berpisah dengan ayah, ibu, dan adik- adikku, tapi setidaknya mereka tidak kekurangan secara financial. Dua tahun aku bekerja di sini, aku bertemu dengan pria yang mungkin ditakdirkan menjadi pasanganku pada akhirnya. Billy Praditya, seorang dokter yang bertugas di daerah tempat aku bekerja. Kami merasa cocok dan akhirnya bertunangan. Dua tahun aku bekerja di  UNICEF, akhirnya aku ditugaskan ke negara kecil di Afrika, yang dari aku masih sekolah, sudah terkenal sebagai negara miskin. Dengan berat hati, aku terima tugas itu karena itu memang tanggung jawabku, ketika aku diterima di UNICEF, aku katakan dalam hati bahwa aku akan bekerja sebaik- baiknya untuk melayani mereka terutama anak- anak.
Aku berangkat dari kota kelahiranku sekalian mohon doa restu dari orang tua dan adik- adikku. Ibuku menangis, adik- adikku juga. Ayahku menepak- nepak pundakku “Baik- baik di sana”, itulah katanya. Di bandara,keluargaku dan Billy yang ikut serta mengantarkanku. Ku lihat ada kesedihan di pelupuk mata Ayah dan Billy meskipun mereka tidak menangis. “Jangan lupa hubungi aku, Le..” katanya dengan suara tersekat, “Sering- sering cek YM-mu”. Aku mengangguk tidak sanggup bicara, aku hanya tersenyum, lalu melambaikan tanganku.
Mungkin sekitar lima belas jam, akupun tiba di negara tujuan, Ethiopia, setelah transit di  Bandara Jan Smuts yang megah di Afrika Selatan. Negara ini gersang, jika Indonesia panas, negara ini juga panas dengan “taste” yang berbeda. Aku bersama rombongan tiba di bandara yang entah namanya apa, saat ku cari tahu aku tetap tidak menemukannya. Mungkin nanti akan ku tanyakan pada temanku. Dari bandara itu, kami harus naik pesawat kecil lagi ke daerah tujuan kami atau maik mobil selama dua hari, karena ingin cepat sampai atasanku memilih pesawat kecil. Atasanku ini adalah warga negara Australia, badannya besar, tapi suaranya begitu lembut. Deborah McAllen, suaminya bekerja untuk PBB juga di organisasi yang berbeda saja. Ma’am McAllen sangat baik padaku, dia menganggapku sebagai anaknya, karena Natal tahun lalu aku sudah memberikan warna yang berbeda dalam hidup keluarganya, itulah yang dia bilang, dia juga bilang aku sudah menyelamatkan keluarganya dari ambang perpecahan.
Saat turun dari pesawat itu, aku melihat betapa gersangnya daerah ini, tapi yang aku lihat hanyalah lima hingga tujuh sapi kurus. Aku bengong seperti orang tolol, seolah mengerti apa yang ada di pikiranku, Debby, begitulah aku menyapanya, bilang bahwa ini hanyalah savanna luas dekat perkampungan di daerah sini. Kami berjalan menyusuri savanna kecil- kecilan ini lalu aku katakan “That’s why we’ve seen the scraggy cow”. Saat tiba di perkampungan, aku melihat anak- anak berkulit hitam kurus tapi berperut buncit, rasanya aku ingin pulang saja, di negaraku juga masih banyak yang seperti ini. Tapi saat kulihat salah satu mereka tertawa di sela- sela kesengsaraan mereka, aku merinding. Aku ingin menangis. Lalu seniorku dari divisi yang berbeda, yang ddikenal bisa membaca pikiran orang berkata “Nggak jadi kan pulangnya, Mbak..?” dengan logat Jawa yang begitu kental “Mas’e nunggu kok”. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya “Halah, Pa’de ini, apaan sih?.”
Wajah- wajah mereka sama semua, aku yang memang bertugas di divisi pendidikan, akulah yang paling menderita melihat anak- anak ini. Di sini aku bertugas menjadi guru mereka. Bibir mereka kering terus, tidak pernah terlihat segar. Kadang, ketika aku membagikan roti kepada mereka, mereka senang bukan kepalang, ada yang berkelahi untuk memuaskan nafsu makan mereka, jika mereka merasa kekurangan. Lalat- lalat hinggap di tubuh mereka. Meskipun demikian aku segera menyayangi mereka. Saat melihat senyum mereka ada kebahagiaan tersendiri di hatiku. Tidak terasa beberapa bulan aku sudah di sini dan bulan depan adalah Desember. Di negara ini yang merayakan Natal sangat sedikit, tapi untunglah ada Debby dan beberapa teman lain dari Indonesia jadi tidak terlalu sepi.
Jika aku pernah bilang perayaan Natal di kampungku merupakan sesuatu yang sederhana, apa yang bisa aku katakan tentang perayaan Natal di daerah ini.  Harapan tentang salju dan Sinterkalas yang tertawa itu jauh dari kenyataan bahkan ketika aku ada di luar negeri sekalipun, apalagi musik dan nyanyian syahdu di sepanjang jalan. Tepat pada malam Natal pada tahun itu, segerombolan orang membawa senjata dan senjata tajam datang dan menjarah daerah itu, segera aku dan teman- teman dari UNICEF melakukan tindakan penyelamatan terhadap warga setempat dan melindungi anak- anak dan para wanita. Saat kami ada di tempat persembunyian, saat itulah hatiku hancur, hancur sekali, ini Natal terburuk yang pernah ada di sepanjang sejarah hidupku. Tidak ada pohon Natal, tidak ada semarak kelap kelip lampu Natal, tanpa biskuit, dan lebih sakit lagi tanpa keluarga.
“It’s often happened in our district, we live in fear” seorang wanita paruh baya memecah keheningan, aku tidak tahu harus bilang apa, percuma menghibur karena aku tidak tahu apa yang mereka rasakan di sepanjang hidup mereka. “We’re with you, now. Calm down, everybody!!” hanya itu yang bisa aku katakan. Debby tersenyum melihatku. Saat itu mungkin pukul tiga pagi, semuanya tertidur, tidur ayam, saat itu tiba- tiba semuanya terjaga mendengar suara ledakkan yang sangat besat. Mereka meledakkan sebuah mobil. Saat itu juga aku melihat seorang anak laki- laki kecil yang bersembunyi di luar di balik sebuah mobil. Dia ketakutan, menangis. “That boy!!” seruku. Aku langsung bergerak menuju pintu, aku ingin keluar dan menolong anak itu, karena aku khawatir mobil kuning yang di mana dia bersembunyi akan diledakkan juga. “What’re you doing?” kata seorang pria bule “Where’ll you go? You wanna die? bentaknya. Aku takut, tapi batinku meronta dan memintaku untuk menyelamatkannya. Aku tetap membuka pintu itu dan si pria itu berkata lagi  dengan menggenggam dan menarik tanganku dengan sekuat tenaga “Think clearly, that’s just one boy. If you die here, you can’t help other children. Sementara isak tangis para wanita yang melihat semakin ramai. ”It’s not time to think clearly. He’s alone. He needs me. That’s all. Now, let me go.” Aku berlari menuju bocah hitam menyedihkan itu. Aku lewat tumpukan sampah bau dan keadaanku sungguh menyedihkan dan menjijikan. Aku sudah ada di depan anak itu sekarang, pipinya basah matanya sembab,saat melihatku dia tersenyum gembira. Senyum penuh harap. Meskipun suara tembakan makin menjadi- jadi. Dia tetap tersenyum, tanda bahwa ia percaya bahwa aku akan datang mengambilnya dan menyelamatkannya sebelum peluru itu bersarang di tubuhnya.
Saat aku mulai bergerak ke arahnya, aku mendengar langkah kaki yang berderap, semakin mendekat, desang- desing peluru semakin ramai. Segera aku gendong dia. Lalu segera berlari melalui jalur lain bukan jalur tempat sampah itu lagi. Aku tertolong karena saat itu ada kucing yang berkelahi heboh sekali sehingga mengalihkan perhatian  preman- preman bersenjata itu. Aku berlari sebisaku dan kembali ke tempat persembunyian dengan aman tanpa kekurangan sesuatu hanya agak menjijikan saja. Anak kecil itu memelukku dan mengucapkan terima kasih di menciium- cium pipiku. Neneknya begitu bahagia melihat cucunya kembali. Pagipun datang, suasan sudah aman terkendali.  Aku membersihkan diriku. Debby memelukku dan teman- teman yang lain memujiku. Sementara pria bule tadi duduk di depanku ketika aku mengeringkan rambutku dengan handuk. “ Why didja put your life for a boy while many children here have been safe?” dia bertanya kepadaku “I don’t know, I just want to do that and I’m happy it’s useful for him” hanay itu yang aku katakan lalu aku pergi, aku masih agak kesal karena dia sudah menggenggam tanganku kuat sekali dan itu menyakitiku.
Natal ini, setidaknya aku belajar tentang arti kasih yang sesungguhnya. Bukankah Yesus lahir ke dunia untuk berkorban, lebih dari yang aku lakukan tadi. Aku tidak melihat salju ataupun menikmati biskuit buatan ibu, tapi aku mendapat senyum pengharapan dari anak kulit hitam itu. Dan Natal tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dimewah- mewahkan melainkan sesuatu yang menjadikan kita seseorang yang juga mau menerima damar pahit (mur)  lambang kesengsaraan selain menerima mas dan dupa harum (menyan) lambang kekuasaan kekal dan pujian.