Total Tayangan Halaman

Sabtu, 09 April 2011

Balada Si Kecil Dani



Bocah yang pendek itu setiap hari ada di warnet, selalu mengenakan kaos orange yang kemarin Lila lihat, Lila agak bingung sudah empat hari dia melihat anak laki- laki itu. Anak itu ramah, murah senyum, dia juga sepertinya tidak sungkan- sungkan untuk menolong orang , bahkan yang tidak dikenalnya. Hari keempat Lila masuk ke warnet itu, anak kecil itu masih tetap ia temui. Akhirnya, Lila memilih komputer yang berdekatan dengan bocah ingusan itu.
“Hei… Maen di sini terus ya…? Udah malem loh ini..!!” sapa ramah Lila.
“Heee…” senyum si bocah kecil itu kepada Lila. “Iya, Mbak… soalnya…” Dani tidak melanjutkan ucapannya.
“Keenakan maen game on-line yah…?” tebak Lila sok tahu. “Emang asik sih, aku juga seneng kok, dek. Tapi, ini kan udah malem, apa kamu ga dicariin mama-papa kamu ya..?. Entar kamu kena marah lo..” kata si Lila sambil senyum- senyum.
“Ga kok Mbak…” kata si Dani dengan senyum yang tidak enak “Ga dicariin kok, Mbak.”
Suasana hening sejenak, sebenarnya Lila agak khawatir dengan anak ini, dia merasa ada yang tidak beres dengan anak kecil ini. Dia menlanjutkan “misi”nya bermain game on-line, sementara, mungkin, teman- temannya yang lain sedang sibuk belajar untuk mempersiapkan Ujian Nasional, sedangkan gadis setengah lelaki ini, cuek saja, seolah- olah temannya belajar untuk menolong dia di hari H nanti.
 “Ssttt.. sssttt” si Lila tomboy mendesis, memanggil si bocah kecil tadi.
“Kenapa, Mbak…” jawab si bocah lelaki itu. “Mbak manggil saya toh…?”
“Enggak, yang di sebelah kamu kok” kata Lila bersamaan dengan gerakan anak itu ke sebelah kirinya yang adalah dinding. “Ya manggil kamu dong, masa saya mau ngobrol sama dinding” ujar si Lila.
“Ohhh…” katanya tertawa. “Kenapa Mbak..?”
“Namamu siapa…?” tanya si Lila.
“Dani, mbak” jawab  anak itu.
“Kelas berapa..? tanyanya si Lila
“Dua SMP, Mbak” jawab si Dani lagi.
“Ohh, kayak masih SD kamu ya!! Hahahaaa” ejek Lila bercanda.
“Ah, Mbak… saya mah memang kecil dari dulu, saya yang paling kecil di kelas” kata Dani sambil garuk- garuk kepala (mungkin agak bingung dengan ke-atraktif-an Lila) “Nama Mbak siapa, Mbak…?” lanjutnya
“Lila. Bagus ‘kan..?” tanyanya dengan percaya diri.
Dani hanya tersenyum.
Senyum Dani malam itu, membuat Lila menyukai anak kecil ini, Lila mau berteman dengannya, meskipun, Dani masih anak kecil, tapi Lila merasa, Dani memiliki sesuatu yang tidak dimiliki anak- anak lain. Saat Lila pulang,Dani memang belum pulang, padahal itu sudah jam 11 malam, Lila bertanya- tanya dalam hati ga dicariin ortunya apa tuh anak?. Lila pulang dan tertidur tapi pastinya ia diceramahi dulu dengan mama dan kakak perempuannya.
Keesokkan harinya, setelah pulang sekolah, untuk menghindari ceramahan dashyat dari sang ibu, Lila memutuskan untuk ber-game on-line ria pada siang hari.
“Nah… udah di sini aja” sapa Lila ketika melihat Dani. “Ga ganti baju lagi…” bercanda aja, kok”.
“Eh, si Mbak, tumben siang, biasanya maennya malem- malem….?” sahut Dani.
“Dah makan belum, lo..? tanya Lila ceplas- ceplos.
Dani hanya tersenyum, dia agak malu mengakuinya, walaupun dia sangat lapar.
“Ga usah malu- malu-lah…?” kata Lila seolah- olah bisa membaca raut wajah Dani.
Dibelinyalah semangkuk tekwan untuk Dani, Dani makan dengan begitu lahapnya,Lila sangat terheran- heran melihat gaya makan anak kecil ini.
“Dan, kamu laper ya..? tanya Lila keheranan.
“Iya, Mbak, udah dua hari ga makan…” Dani keceplosan.
“Dua hari…?” Lila terkejut. “Lupa makan apa emang ga dikasih makan…? Lila melanjutkan.
                Dani menceritakan semuanya kepada Lila apa yang sebenarnya terjadi kepadanya.
“Mbak.. sebenernya aku tuh, lari dari rumah aku udah ga tahan lagi dengan keadaan rumah itu..” kata si Dani. “Aku tinggal di rumah Om dan Tanteku, Mbak. Tapi, tiap hari mereka marah- marah terus, aku capek, mereka selalu caci maki aku, aku capek Mbak, dengar hinaan yang kayak gitu terus tiap hari…”
“Mama, Papa kamu di mana, Dan…?” tanya Lila.
“Mereka udah.. cerai, Mbak” kata Dani menyesal.
Cerai… Ternyata itu lebih buruk dari pada yang Lila pikir, cerai lebih buruk dari pada mati.
“Aku bahkan ga pernah sekalipun ketemu sama Mama-ku, Mbak. Padahal aku pingin banget ngeliat wajah orang yang sudah melahirkan aku, aku pengen ngucapin terima kasih sama dia, Mbak. Pernah, waktu temenku curhat ke aku tentang mamanya yang selalu marah- marah sama dia, dia mungkin kesel banget, tapi jujur, aku iri dengan dia, Mbak.Ga ada yang memperhatikan aku dengan tulus, Mbak, semuanya kayak sinetron…” kata si kecil ini sambil berkaca- kaca. “Tapi, kadang- kadang aku, mau bilang ke dia, kenapa dia mau melahirkan aku, kalau akhirnya yang harus aku temui hidup yang begini rumit, kadang aku ngerasa capek, aku jenuh, kadang aku ngerasa ga sanggup jalanin ini.”
“Terus, Papa kamu di mana, Dan…?” tanya Lila penasaran
“Dan Papa ku, aku hanya ketemu sama dia dua kali seumur hidup, dia ada di Riau”
“Kenapa kamu ga tinggal sama Papa aja, Dan….?” Kata Lila memberi saran.
“Ga, Mbak…” jawabnya. “Papa kayaknya ga mau nerima aku, setiap aku telepon aja, Papa ga pernah ngangkat, kalaupun aku ngomong sama dai, dia pengennya cepet- cepet aja, dai seolah- olah menghindar aku jadi males, Mbak untuk ngubungin Papa, dianya aja cuek dengan anak kandungnya sendiri, mungkin itu juga yang bikin Om sama Tante ga peduli dengan aku”.
“Sejak kapan kamu keluar dari rumah, Dan..? tanya sarat emosi. “Kayaknya udah dua minggu ini Mbak ngeliat kamu di warnet setiap hari, loh….”
“Sebenernya, aku udah satu bulan keluar dari rumah, Mbak” jawab Dani. Sudah banyak barang- barangku yang ilang . Handphone ku hilang waktu aku Sholat Jum’at di Masjid, Mbak. Aku sedih juga saat itu, padahal itulah yang aku punya saat itu, Mbak. Itu satu- satuunya alat untuk ngubungin Papa.”
Aku agak bingung dengan kisah hidup anak kecil ini, dia masih kecil tapi jalan hidupnya begitu pelik.
“Jadi kamu tidurnya di mana, Dan..?” tanya Lila
“Selama setengah bulan belakangan ini, aku hanya di warnet ini, Mbak. Aku ga tidur, aku hanya main internet ini, padahal aku ngantuk banget, tapi kalo aku tidur aku bisa- bisa diusir, sama penjaga warnet, Mbak” tuturnya.
Lila tertegun, dia berusaha menahan air matanya, apa yang sedang dilihatnya saat ini, selama ini dia melawan Mama, mengabaikan Papa, tapi yang dia lihat saat ini, sungguh nyata, sosok lemah yang berusaha untuk kuat, mencoba bertahan dengan segala daya dan upaya yang dimilikinya. Lila membawaanya ke rumahnya dan menceritakan segalanya kepada ibunya, kebetulan ada bibinya, mereka menitihkan air mata. Tante Wanda mengajak Dani ke rumahnya dan memberikan baju kepada Dani, di rumah Tante Wanda, Dani akhirnya bisa merebahkan badannya, meski hanya di atas kursi. Dia anak yang rajin, cepat tanggap dan bisa diandalkan. Keesokan harinya
“Tante, saya pamit ya.. Makasih banyak, ya Tante..” kata Dani sambil menyalami  Tante Wanda. Tante Wanda kebingungan, Zaki, anak laki- laki Tante Wanda juga bingung, kenapa dengan begitu cepat Dani memutuskan untuk pulang.
“Terus kamu mau tinggal di mana, Dan..?” tanya Zaki. “Udah tinggal di sini aja, kaamu bisa tidur di kamar aku juga, kita berangkat sekolah sama- sama”.
“Makasih, Ki..” jaawabnya sambil tersenyum ke arah Zaki. “Aku ga mau ngerepotin, makasih banyak ya, Tante, Zaki..”
Dani keluar dari rumah Tante Wanda dan kembali ke warnet lagi. Tantte Wanda memberi Dani sedikit uang, jadi Dani bbisa membeli makanan untuk besok. Sore hari, Lila melihat Dani.
“Kok…?” Lila menggaruk- garuk kepalanya.
“Heee… Iya, Mbak…” kata Dani. “Aku pamit tadi sama Tante Wanda, ga enak, ngerepotin..”
Lila kebingungan, padahal maksud hati Tante Wanda, Dani akan diangkat jadi anaknya.
“Ah, udahlah, Dan” kata Lila “Balik lagi aja, dari pada kamu luntang- lantung ga jelas, enakkan tinggal di sana, siapa tahu nanti Om sama Tantemu sadar..” Lila membujuk.
Dani berpikir cukup lama dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke rumah Om dan Tantenya. Lila, Zaki, dan Om Fahrul, suami Tante Wanda, mengantarkan Dani ke rumah Omnya. Mereka menunggu apa reaksi Om dan Tante Dani, setelah tahu  bahwa keponakkan kecilnya yang lucu ini, sudah sebulan seperti gelandangan. Mereka menunggu hingga beberapa jam, setelah menngantarkan Dani, mereka menunggu di luar rumah, untuk mengetahui kelanjutan cerita Dani, apakah Dani akan dimarah- marah atu malah diusir. Namun, ternyata semuanya aman- aman saja. Mereka, Lila cs, kembali pulang ke rumah. Awan mendung ternyata masih saja di atas kepala Dani.Dia, lagi- lagi ditendang keluar dari rumah.
“Mbak Lila…” panggil Dani dengan air mata menetes di pipinya. “Aku kayaknya memang harus pergi, bener- bener harus pergi, itu memang bukan tempatku, bukn rumahku, mungkin mereka merasa aku hanyalah parasit dan aku juga ga punya hak untuk di tinggal di rumah itu sedikitpun” sambil terisak. Baru kali ini Lila melihat Dani menangis sepilu ini.
                Lila mengajak Dani masuk ke rumahnya. Dia menenangkan Dani, mendengarkan setiap keluh kesedihan yang terucap dari bibir Dani, ia begitu luluh melihat Dani. “Jadi, rencana kamu apa, Dan..?” tanya Lila. Dani berpikir sejenak, menarik nafas dan mencoba bersikap tenang dan mengelap pipinya yang basah “ Aku mau ke rumah temen aja, Mbak, temen sekolahku, Arif”. Dani memberikan nomor ponselnya kepada Lila “Nanti aku aktifin nomornya, pinjem handphonenya Arif” katanya sambil tersenyum. Hati Lila bagai disayat- sayat melihat senyum yang begitu bening dari Dani. Dani pergi, tanpa uang sama sekali, dengan kaki telanjang, Lila terperangah hingga lupa memberi uang  dan meminjamkan sandal jepit untuk Dani. Lila menangis semalaman, anak sekecil itu.
                Dani menghilang selama beberapa hari, tidak ada kabar sama sekali, nomornya tidak bisa dihubungi. Semuanya cemas, semuanya seolah- olah kebakaran jenggot, takut terjadi apa- apa dengan anak kecil ini, badannya kecil untuk anak seusianya, wajahnya tampan begitu polos, belum tahu apa- apa tentang jahat dan kejamnya dunia di luar sana. Apalagi sekarang marak perdagangan manusia, organ manusia, atau tindak sodomi (maaf), semua orang berpikiran negatif tentang keadaan Dani.
“Ada SMS masuk, dari nomor Dani” teriak Lila.
“Apa katanya bagaimana kabarnya…? kata Bu Nabila, mama Lila, tak sabaran.
“Mbak Lila, sekarang aku tinggal di rusun di Jalan R*d*al, aku sehat, Mbak…” itulah isi SMS Dani. Setelah Lila cari tahu ternyata Dani ditolong dengan para dancer yang kelakuannya agak mengkhawatirkan, menurut pandangan masyarakat sekarang, mereka dikhawatiran adalah para Homo yang suka dengan anak- anak kecil, apalagi anak kecil yang bagus seperti Dani, tapi untungnya Dani tinggal di rumah seorang perempuan yang kerap disapa Mami (keberuntungankah itu..?). Mendengar kabar sepert itu, teman- teman  Lila yang mengetahui masalah ini ingin menolong tapi hal itu diurungkan dengan sebuah ketakutan “NANTI KITA MALAH DIJUAL”. Semuanya berpikiran yang tidak – tidak, mereka beranggapan bahwa inilah akhir kisah rumit si Dani, menjadi santapan para Homo.
                Suatu malam, tanpa  disangka, si Mami mengantarkan Dani pulang ke rumah Om dan Tantenya dengan suatu ketegasan, dan sepertinya  si Om dan Tante merasa malu dengan tindakan Mami ini. Dani kembali tinggal di rumahnya, entah damai atau tidak, bagaimana dengan perkembangan Dani, sekarang itu ada di tangannya sendiri, “KAMI BERDOA BUATMU DANI..!! BERTAHANLAH!!.
                Satu hal, yang ingin aku tekankan, “ternyata, banci ataupun para homo ataupun “mami- mami” yang kita anggap berdosa dan tidak mengenal kasih melakukan dan menerapkaan kasih di kehidupannya”

Love is the Key

1 komentar:

  1. le...
    ternyata kalo ditulis,, cerito si dani ini sedih nian y...
    aku nag nangis lg baco ceritonyo nah...

    BalasHapus